oleh: Hatika Amalia AM
Suatu waktu, nama Nokia identik dengan kekuatan dan keandalan. Di awal 2000-an, HP Nokia seperti seri 3310 menjadi simbol dari masa keemasan ponsel. Namun, kejayaan itu tidak bertahan lama. Munculnya smartphone berbasis Android dan iOS membuat Nokia kehilangan dominasinya. Kisah viral soal keawetan Nokia 3310 bahkan sering dijadikan lelucon di media sosial, seperti “Nokia jatuh ke lantai—lantainya yang retak.”
Namun di balik guyonan itu, tersimpan pelajaran berharga tentang aktivitas ekonomi yang bisa kita pelajari dari sisi motif, perilaku, dan prinsip ekonomi.
Nokia adalah perusahaan asal Finlandia yang pada awal 2000-an menguasai lebih dari 50% pangsa pasar ponsel dunia. Seri seperti Nokia 6600, 7610, dan 3310 sangat digemari di Indonesia karena daya tahan, baterai awet, dan harga terjangkau.
Namun, saat era smartphone dimulai, Nokia bersikeras mempertahankan sistem operasi Symbian. Sementara pesaing seperti Samsung dan Apple meluncurkan inovasi dengan Android dan iOS. Nokia sempat mencoba bangkit lewat kerja sama dengan Microsoft, tapi hasilnya tidak signifikan. Akhirnya, Nokia menjual divisi ponselnya ke Microsoft pada 2014.
Baru pada beberapa tahun terakhir, nostalgia terhadap produk lawas seperti Nokia 3310 membuat namanya kembali viral. Produk tersebut diluncurkan ulang dalam versi modern oleh HMD Global, tapi hanya sebagai fitur phone—bukan pesaing smartphone.
Motif utama Nokia adalah mempertahankan dominasinya di pasar teknologi global. Namun, mereka juga didorong oleh motif untuk mengurangi risiko dengan tidak mengambil keputusan radikal seperti beralih ke Android lebih awal.
Ironisnya, motif untuk menjaga stabilitas justru membuat mereka tertinggal dalam inovasi.
Perilaku ekonomi Nokia tergolong konservatif dalam menghadapi perubahan pasar. Ketika konsumen mulai beralih ke layar sentuh dan aplikasi modern, Nokia tetap bertahan pada model lama. Ini menunjukkan perilaku ekonomi yang kurang adaptif.
Sebaliknya, ketika nostalgia menjadi tren, perilaku ekonomi HMD Global—yang kini memegang lisensi Nokia—lebih inovatif, mereka membaca pasar dan meluncurkan kembali produk klasik.
Nokia gagal menerapkan prinsip ekonomi secara efisien saat pasar berubah. Mereka tetap menginvestasikan sumber daya ke sistem yang tidak lagi diminati, alih-alih memanfaatkan peluang di platform baru dengan pengorbanan yang lebih kecil tapi hasil maksimal.