Fakta kinerja Fiskal pada awal tahun 2025 berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga Februari 2025 hanya mencapai Rp187,8 triliun, turun 30,19% year-on-year (yoy) dari periode sama tahun sebelumnya 2024 (Rp269,02 triliun). Kerugian APBN senilai Rp31,2 tirliun pada Februari 2025 menjadi catatan kelam pertama sejak 2021, kondisi ini berlawanan dengan surplus yang terjadi pada Februari tahun lalu yang mengalami surplus senilai Rp26 triliun. Penerimaan pajak yang terealisasi hanya sebesar 8,6% Â dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,31 triliun. Dari data tersebut ini menunjukkan adanya tantangan struktural yang signifikan.
Penurunan akibat harga komoditas menjadi faktor utama yang sangat penting. Data yang saya peroleh dari Wakil Menteri Keuangan Indonesia, ada beberapa penurunan dari harga komoditas, ini meliputi batu bara yang menurun anjlok sebesar 11,8 persen yoy, minyak mentah Brent turun sebesar 5,2%, dan nikel turun sebesar 5,9%. Sektor  pertambangan dan sumber daya alam menyumbang 25% penerimaan pajak nonmigas, mengakibatkan fluktuasi harga langsung berdampak pada setoran PPh Pasal 25 dan pajak sektor pertambangan. Ketergantungan pada komoditas terlihat pada data tahun 2022, yaitu penerimaan pajak di Kalimantan (wilayah penghasil komoditas) melampaui target 126% karena harga yang tinggi. Tetapi tahun 2023 menurun signifikan saat harga komoditas mengalami penurunan. Dampaknya sangat terasa karena penurunan harga berdampak pada PPh pasal 25/29 perusahaan tambang, Pajak daerah dari kegiatan ekstraktif, dan PNBP sektor mineral dan batu bara.
Coretax sebagai salah satu faktor penghambat, pada Januari 2025 mengalami kendala teknis seperti gagal login, OTP tidak terkirim, dan kesulitan e-faktur. Padahal, sistem ini seharusnya mempermudah kepatuhan pajak. Ketidaksesuaian data historis juga menjadi faktor karena pada Februari 2025 adalah pertama kalinya dalam 4 tahun APBN defisit  di bulan tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan periode 2022-2024 yang selalu surplus.
Sebagai mahasiswa yang mencermati kebijakan fiskal, saya menilai penurunan penerimaan pajak sebesar 30,19% hingga Februari 2025 sebagai alarm serius bagi ketahanan ekonomi Indonesia. Realisasi Rp187,8 triliun yang hanya mencapai 8,6% target APBN 2025 ini bukan sekadar fluktuasi biasa, melainkan cerminan kelemahan struktur pendapatan negara. Saya mengamati ketidakstabilan harga komoditas sebagai faktor dominan. Pelemahan batubara(-11,8%), minyak mentah (-5,2%), dan nikel (-5,9%) secara langsung mengurangi kontribusi sektor sumber daya alam yang menyumbang 25% penerimaan pajak nonmigas. Ketergantungan berlebihan pada komoditas seperti terlihat pada gejolak yang signifikan pada penerimaan pajak di Kalimantan Timur (126% target pada 2022 vs 78% pada 2023) ini menunjukkan urgensi penataan ulang keuangan negara.
Dalam menganalisis respons pemerintah, saya mencatat tiga argumen resmi: restitusi Rp16,5 triliun kelebihan bayar PPh 21, relaksasi batas waktu PPN, dan klaim pola berfluktuasi Januari-Februari. Namun, saya mempertanyakan kelengkapan penjelasan ini. Gangguan teknis sistem Coretax (gagal login, OTP tidak terkirim) yang dilaporkan wajib pajak, ditambah fakta bahwa defisit Februari 2025 adalah yang pertama dalam empat tahun, mengisyaratkan masalah lebih dalam dari sekadar faktor berulang.
Sebagai solusi, saya mengusulkan pendekatan terstruktur. Pertama, pemerintah perlu mempercepat diversifikasi basis pajak dengan memasukkan sektor digital dan jasa, mencontoh keberhasilan Thailand yang meraih 4,2% penerimaan nasional dari model ini. Kedua, pembentukan dana stabilisasi komoditas ala Chile akan mengurangi guncangan harga. Ketiga, audit independen terhadap Coretax oleh BPK harus dijalankan bersamaan dengan aktivasi mekanisme pelaporan manual darurat. Keempat, implementasi sistem blockchain untuk pemantauan real-time produksi/ekspor komoditas seperti di Afrika Selatan (+17% PNBP) yang dapat meminimalkan kebocoran.
Jika langkah-langkah ini diabaikan, saya memperkirakan defisit APBN 2025 bisa menembus 3% PDB melampaui batas aman UU Keuangan Negara. Beban pembiayaan utang yang sudah melonjak 19,42% (yoy) pada Februari 2025 akan makin membebani generasi mendatang. Program pemerintah berbiaya tinggi seperti Makan Bergizi Gratis (Rp400 triliun) perlu dikaji ulang skalanya, fokus pada daerah stunting tinggi lebih baik daripada implementasi massal tanpa kesiapan logistik.
Pada akhirnya, penurunan pajak 30,19% bukan sekadar persoalan statistik. Peristiwa  ini harus menjadi pendorong perubahan menuju sistem pendapatan negara yang stabil, terdiversifikasi, dan berbasis teknologi, di mana kebijakan fiskal tidak hanya merespons krisis, tetapi membangun pondasi keberlanjutan jangka panjang. Momentum defisit Februari 2025 harus menjadi titik balik bersejarah menuju transformasi fiskal yang lebih baik, bukan sekadar memperbaiki angka statistik, tapi membangun ketahanan ekonomi jangka panjang yang tangguh dan mandiri. Ketergantungan pada komoditas dan utang hanya akan mengalami krisis keuangan negara yang berulang.
Penulis : Hasya Nadhiya Putri
Mahasiswi Prodi S1 Akuntansi FEB ULM
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI