Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengelolaan Dana Sampah Tidak Transparansi dan Nyaris Tertutup

21 Agustus 2019   17:25 Diperbarui: 21 Agustus 2019   19:12 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mobil angkut sampah yang mubadzir. Sumber: Dokpri

Pengelolaan sampah di Indonesia, tantangannya pada oknum leading sektor persampahan yang ingin tetap monopoli pengelolaan sampah. Mari kita jujur bahwa rakyat Indonesia adalah patuh pada aturan, hanya saja panutannya hilang dan bersembunyi dibalik kekuasaannya untuk mempermainkan dana-dana persampahan.

Sedikit tertarik untuk mengulas status atau pendapat atau mungkin berupa temuan seorang sahabat penggiat persampahan Renung Rubi dalam status face booknya berjudul "Tantangan Persampahan Indonesia" (19/08). 

Dalam facebook Saudaraku Renung Rubi tersebut diatas menulis "Dari 500 an Bupati/Walikota Hanya Sedikit yang PEDULI ALOKASI ANGGARAN SAMPAH. Di dalam Kabupaten/Kota dari sekian OPD ... yang mengurusi sampah hanya DLH atau DKP yang "agak" Peduli Sampah. Dari sekian banyak personil DLH hanya segelintir orang yang PEDULI SAMPAH ....." (maaf sedikit saya edit huruf-hurufnya Bang Renung)

Sebenarnya hampir semua bupati dan walikota di 514 kabupaten dan kota serta gubernur dari 34 provinsi di Indonesia. Termasuk beberapa kementerian terkait, semua mengeluarkan alokasi dana untuk persampahan. Baik dari APBN, APBD (1 dan 2), CSR dll. Namun hanya tidak semua orang atau masyarakat mengetahuinya.

Begitu pula Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) bukan mereka tidak peduli hanya saja leading sektor persampahan baik di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun SKPD di tingkat pemerintah daerah (pemda) ada kesan monopoli dalam urusan sampah. 

Hal inilah yang menjadi hambatan pelaksanaan Pasal 13, 44 dan 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pasal-pasal tersebutlah menjadi bumerang bagi oknum pemda, karena "merasa" ladangnya akan direbut oleh rakyat yang seharusnya menjadi eksekutor dalam pengelolaan sampah.

Kurang terbuka pada kementerian dan OPD lainnya di pemda, misalnya yang berhubungan erat dengan persampahan adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi/UKM dan Kementerian Perindustrian beserta seluruh OPD atau SKPD di pemda masing-masing, maka muncul disharmonisasi antar lembaga dan OPD. 

Kalau kementerian lain diluar KLHK termasuk diluar OPD DLHK pada pemda tidak berinisiatif untuk mengambil peran positif di masyarakat, maka hancurlah pengelolaan sampah. Inilah terjadi praktek selama ini oleh pemerintah dan pemda, sehingga Indonesia terus dirundung masalah sampah yang tidak berkesudahan. 

Padahal sangat jelas telah diatur dalam UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, peran pemerintah dan pemda 1 dan 2 termasuk dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jaktranas), termuat didalamnya peran masing-masing kementerian dan lembaga (K/L).

Lebih mikronya lagi pada oknum-oknum pejabat SKPD atau internal Dinas Lingkungan Hidup (dh: Dinas Kebersihan) di pemda. Ada terjadi semacam sekat yang diciptakan atas penempatan posisi yang terlibat langsung pada unit-unit tugas dan yang tidak dilibatkan (tidak ada peran) oleh pimpinan SKPDnya yang sengaja ingin bermain dalam pusaran sampah.

Kondisi-kondisi parsial ini terjadi internal pada SKPD yang diduga akibat adanya peluang bisnis atau potensi permainan "fulus" anggaran pada pos-pos basah atau unit kerja dalam SKPD itu sendiri. Unit-unit basah antara lain: unit atau seksi pembinaan bank sampah, TPA/TPS3R, angkutan sampah, retribusi sampah, tipping fee sampah, dana perbantuan atau pembinaan dari perusahaan CSR. Belum lagi pengadaan prasarana dan sarana persampahan yang banyak menjadi bancakan korupsi.

Pola permainan-permainan ini terjadilah kegamangan atau bisa terjadi kevakuman antar seksi atau antar SKPD serta lintas kementerian. Ada pula SKPD atau kementerian yang membuat program-program instan sekaitan dengan sampah. Macam-macam nama gerakannya dengan mengatas namakan melindungi bumi dari sampah. Belum lagi permainan pada pembayaran dana kompensasi warga terdapak TPA. Kasian rakyat ini menjadi korban persampahan. Tapi nyatanya selalu disalahkan. Selalu dituntut untuk kelola sampah, tapi ruang dan waktunya ditutup oleh pemerintah sendiri.

Artinya ada komponen yang memanfaatkan kondisi carut marut. Hal tersebut nampak terlihat dengan kasat mata berdasar gerakan-gerakan parsial atau instan dalam menyikapi masalah sampah. Sangat terbaca kondisi ini terjadi. Tanpa merasa malu mempertahankan status quo dimana sesungguhnya rakyat sudah mengetahuinya.

Berhenti Salahkan Rakyat

Benarlah bahwa rakyat atau manusia sebagai produsen sampah. Tapi bukankah kewajiban rakyat sudah dipenuhi dengan membayar retribusi sampah?

Sejujurnya masyarakat bisa saja dirugikan oleh kebijakan yang tidak berpihak padanya. Bisa berganda melakukan pembayaran retribusi pengelolaan sampah. Misalnya saat ini ada kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG), masyarakat lagi-lagi membeli kantong plastik belanjaan yang seharusnya tidak dibeli dan juga tetap membayar retribusi sampah di rumahnya. Bagaimana bisa masyarakat merubah paradigmanya bila tidak ada penghargaan dan sanksi.

Belum lagi masyarakat bila berkunjung ke kawasan kuliner, destinasi wisata dan lainnya. Bisa jadi membayar lagi biaya pengelolaan sampah kawasan yang tidak disadari. Karena biaya pengelolaan sampah inklud dengan harga tiket masuk kawasan destinasi.

Jadi kalau dikatakan masyarakat tidak peduli akan produksi sampahnya sendiri untuk dikelola. Bisa jadi benar, tapi semua itu terjadi karena secara alami terjadi korelasi yang saling mempengaruhi dengan sikap tertutupnya oknum leading sector dari pemerintah dan pemda dalam penanganan sampah.

Maka jangan salahkan masyarakat bila terjadi indisipliner dalam pengelolaan sampah. Karena panutannya sendiri yang bermasalah alias tidak disiplin dalam mengelola dana-dana persampahan. Coba luruskan regulasi serta transparansi dalam pengelolaan dana sampah. Maka rakyat Indonesia pasti patuh dan mendukung.

Kesimpulannya yang perlu diketahui oleh stakeholder dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah bukan tidak ada dana dalam pengelolaan sampah. Justru dana itu berlebih. Bukan rakyat yang salah, justru rakyat tidak diberi kewenangannya yang ada dalam regulasi persampahan. Coba rakyat disuguhi menu informasi yang jujur dan  oknum pemerintah dan pemda berlaku jujur dalam tindakan. Rakyat pasti patuh.

Sebut misalnya gerakan-gerakan instan dari pemerintah dan pemda dalam menangani sampah, seperti aksi pungut sampah di pantai atau di jalanan. Berapa banyak dana yang keluar hanya sebatas gerankan spontan tanpa keberlanjutan. Selesai acara sampah bertumpuk lagi. Itu semua hanya pencitraan.

Belum lagi dana-dana perbantuan atau subsidi dari para menteri, gubernur dan bupati/walikota yang jumlahnya miliaran. Ini semua ada dananya, tapi pemerintah dan pemda tidak terbuka. Hanya pada oknum-okmum terdekat saja yang mengetahuinya. Nah ada juga Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat cq: Kementerian Keuangan kepada daerah yang berhasil melarang penggunaan kantong plastik. Nah kemana semua dana-dana itu?

Hampir semua komponen dalam pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah mengatakan bahwa susah dalam mengelola sampah karena dana tidak ada, itu semua cuma alasan klise dari orang atau oknum yang justru mengelola dana sampah itu sendiri. Benarkah dan bagaimana pendapat Anda?

Jakarta, 21 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun