Mohon tunggu...
Hasna Rachman
Hasna Rachman Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswa aktif yang sedang menempuh studi di Universitas Negeri Jakarta dengan minat khusus pada isu-isu sosial, pendidikan, budaya populer, dan ketimpangan struktural. Aktif menulis esai reflektif dan analisis kritis berbasis teori sosiologi dengan pendekatan naratif yang membumi. Percaya bahwa tulisan bisa menjadi alat perubahan sosial dan media untuk menyuarakan yang tak terdengar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Orang Miskin Harus Bertaruh Nyawa Sementara yang Kaya Hanya Menonton dalam Serial Squid Game di Netflix

4 Juli 2025   18:40 Diperbarui: 4 Juli 2025   19:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permainan 'Lampu Merah, Lampu Hijau'(Sumber: Google)


Beberapa kasus yang ada, bahkan sekolah-sekolah yang berada di kawasan urban pun tak luput dari reproduksi ketimpangan. Fasilitas penunjang belajar seperti akses gawai, internet stabil, bahkan ruang belajar yang layak, tidak bisa dinikmati secara merata. Saat program belajar daring diterapkan secara luas pasca-pandemi, siswa dari keluarga miskin harus mencari Wi-Fi gratis di tempat umum atau berbagi satu ponsel untuk beberapa anak sekaligus. Realitas ini mempertegas bahwa ketimpangan dalam pendidikan bukan hanya persoalan desa dan kota, tetapi tentang siapa yang mampu membeli akses dan siapa yang harus berjuang ekstra untuk mendapatkannya. Sama seperti dalam Squid Game, ketika permainan dimulai, semua tampak setara. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua peserta punya peluang yang sama untuk menang.


Serial Squid Game, dalam segala kebrutalan dan ketegangan fiksionalnya, telah memberikan refleksi sosial pahit tentang bagaimana sistem yang tidak adil dapat dibungkus dalam narasi pilihan bebas dan kompetisi terbuka. Apa yang tampak sebagai permainan biasa, pada dasarnya adalah miniatur dari realitas sosial yang dihadapi oleh jutaan orang dalam kehidupan nyata, di mana permainan hidup yang keras, hanya segelintir yang menang, dan sisanya tersingkir tanpa ampun. Hal ini menjadi menjadi miris, ketika sistem tersebut sering mengatakan dirinya adil, hanya karena memberikan ‘kesempatan’ yang sama di permukaan, padahal akar-akar ketimpangan telah tertanam dalam sejak awal. Ini pula yang terlihat dalam dunia pendidikan dan kerja, seolah-olah setiap orang diberi peluang, padahal hanya mereka yang telah memiliki modal sosial, ekonomi, dan kultural sejak awal yang benar-benar mampu bertahan. Di sinilah pentingnya kita membedakan antara keadilan formal (di atas kertas) dengan keadilan substantif (yang benar-benar terasa dalam kehidupan). Squid Game dengan sangat gamblang memperlihatkan bahwa kebebasan memilih pun bisa menjadi alat penindasan terselubung ketika semua pilihan yang tersedia pada dasarnya bermuara pada penderitaan. Dalam kondisi ekstrem seperti itu, tindakan-tindakan manusia pun berubah, empati bisa memudar, solidaritas bisa tergadaikan, dan rasa kemanusiaan diuji di ujung tanduk. Namun demikian, Squid Game juga menyisipkan harapan kecil, bahwa dalam sistem yang kejam, masih ada individu-individu yang memilih untuk bersikap manusiawi, mengorbankan dirinya demi orang lain, atau menolak mengikuti logika kekerasan demi mempertahankan nurani. Hal-hal kecil seperti inilah yang mengingatkan kita bahwa sistem tidak selamanya menang mutlak. Jika kita tidak membongkar dan memperbaiki sistem yang timpang ini, maka bukan tidak mungkin dunia nyata kita akan semakin menyerupai Squid Game: kejam, sunyi, dan hanya menyisakan satu pemenang dalam arena yang penuh luka. Maka, tugas kita sebagai masyarakat, sebagai pendidik, dan sebagai manusia adalah menjadikan fiksi itu sebagai peringatan, bukan sebagai kenyataan yang kita biarkan terjadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun