Beberapa kasus yang ada, bahkan sekolah-sekolah yang berada di kawasan urban pun tak luput dari reproduksi ketimpangan. Fasilitas penunjang belajar seperti akses gawai, internet stabil, bahkan ruang belajar yang layak, tidak bisa dinikmati secara merata. Saat program belajar daring diterapkan secara luas pasca-pandemi, siswa dari keluarga miskin harus mencari Wi-Fi gratis di tempat umum atau berbagi satu ponsel untuk beberapa anak sekaligus. Realitas ini mempertegas bahwa ketimpangan dalam pendidikan bukan hanya persoalan desa dan kota, tetapi tentang siapa yang mampu membeli akses dan siapa yang harus berjuang ekstra untuk mendapatkannya. Sama seperti dalam Squid Game, ketika permainan dimulai, semua tampak setara. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua peserta punya peluang yang sama untuk menang.
Serial Squid Game, dalam segala kebrutalan dan ketegangan fiksionalnya, telah memberikan refleksi sosial pahit tentang bagaimana sistem yang tidak adil dapat dibungkus dalam narasi pilihan bebas dan kompetisi terbuka. Apa yang tampak sebagai permainan biasa, pada dasarnya adalah miniatur dari realitas sosial yang dihadapi oleh jutaan orang dalam kehidupan nyata, di mana permainan hidup yang keras, hanya segelintir yang menang, dan sisanya tersingkir tanpa ampun. Hal ini menjadi menjadi miris, ketika sistem tersebut sering mengatakan dirinya adil, hanya karena memberikan ‘kesempatan’ yang sama di permukaan, padahal akar-akar ketimpangan telah tertanam dalam sejak awal. Ini pula yang terlihat dalam dunia pendidikan dan kerja, seolah-olah setiap orang diberi peluang, padahal hanya mereka yang telah memiliki modal sosial, ekonomi, dan kultural sejak awal yang benar-benar mampu bertahan. Di sinilah pentingnya kita membedakan antara keadilan formal (di atas kertas) dengan keadilan substantif (yang benar-benar terasa dalam kehidupan). Squid Game dengan sangat gamblang memperlihatkan bahwa kebebasan memilih pun bisa menjadi alat penindasan terselubung ketika semua pilihan yang tersedia pada dasarnya bermuara pada penderitaan. Dalam kondisi ekstrem seperti itu, tindakan-tindakan manusia pun berubah, empati bisa memudar, solidaritas bisa tergadaikan, dan rasa kemanusiaan diuji di ujung tanduk. Namun demikian, Squid Game juga menyisipkan harapan kecil, bahwa dalam sistem yang kejam, masih ada individu-individu yang memilih untuk bersikap manusiawi, mengorbankan dirinya demi orang lain, atau menolak mengikuti logika kekerasan demi mempertahankan nurani. Hal-hal kecil seperti inilah yang mengingatkan kita bahwa sistem tidak selamanya menang mutlak. Jika kita tidak membongkar dan memperbaiki sistem yang timpang ini, maka bukan tidak mungkin dunia nyata kita akan semakin menyerupai Squid Game: kejam, sunyi, dan hanya menyisakan satu pemenang dalam arena yang penuh luka. Maka, tugas kita sebagai masyarakat, sebagai pendidik, dan sebagai manusia adalah menjadikan fiksi itu sebagai peringatan, bukan sebagai kenyataan yang kita biarkan terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI