Mohon tunggu...
Hasna Rachman
Hasna Rachman Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswa aktif yang sedang menempuh studi di Universitas Negeri Jakarta dengan minat khusus pada isu-isu sosial, pendidikan, budaya populer, dan ketimpangan struktural. Aktif menulis esai reflektif dan analisis kritis berbasis teori sosiologi dengan pendekatan naratif yang membumi. Percaya bahwa tulisan bisa menjadi alat perubahan sosial dan media untuk menyuarakan yang tak terdengar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Orang Miskin Harus Bertaruh Nyawa Sementara yang Kaya Hanya Menonton dalam Serial Squid Game di Netflix

4 Juli 2025   18:40 Diperbarui: 4 Juli 2025   19:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permainan 'Lampu Merah, Lampu Hijau'(Sumber: Google)

'Dalam dunia yang katanya modern dan adil, kita masih sering dihadapkan pada kenyataan pahit, di mana yang miskin harus berjuang mati-matian demi bertahan hidup, sementara yang kaya tinggal duduk menonton. Serial Squid Game di Netflix mungkin hanya fiksi, tapi rasa-rasanya ia justru terlalu dekat dengan kenyataan. Permainan hidup dan mati yang brutal dalam serial ini bukan sekadar drama, melainkan cermin tajam atas ketimpangan sosial yang nyata tentang bagaimana uang, kuasa, dan moral bisa saling bergesekan di tengah masyarakat yang semakin kompetitif. Melalui kacamata sosial, kita melihat bahwa Squid Game bukan hanya hiburan, tetapi juga kritik terhadap sistem yang diam-diam telah lama membuat manusia kehilangan martabatnya.


Dalam sudut pandang sosiologi, Squid Game menunjukkan struktur kekuasaan yang ekstrem namun sangat terstruktur, mewakili bagaimana elit yang tak tersentuh mengatur nasib mereka yang tidak berdaya. Para VIP yang menyaksikan permainan bukan hanya hadir sebagai simbol kekayaan, tetapi juga sebagai wujud kuasa simbolik dan koersif yang menentukan hidup-mati orang lain tanpa harus menyentuh langsung realitas penderitaan itu. Ini sejalan dengan gagasan Michel Foucault, seorang filsuf dan sosiolog Prancis (1926–1984) tentang bagaimana kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tapi juga produktif, artinya mengatur, mengawasi, bahkan menciptakan ‘aturan main’ dalam sistem sosial. Seperti kata Front Man dalam episode pertama musim pertama – Lampu Merah, Lampu Hijau, “Kau telah menandatangani pelepasan hak tubuhmu... kami tidak membunuhmu tanpa persetujuanmu.” Kalimat ini menggambarkan bagaimana kekuasaan modern dibungkus dalam bahasa persetujuan, padahal diberikan di bawah tekanan dan tanpa pilihan nyata. Permainan dalam serial Squid Game menjadi metafora tentang bagaimana kuasa bekerja dalam masyarakat modern: ia tidak selalu terlihat, tapi dampaknya bisa sangat menentukan arah hidup seseorang.

Contoh nyata dalam kehidupan sosial kita tak kalah mengerikan. Dalam konteks di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana praktik pemberian bantuan sosial kerap dikontrol oleh kelompok-kelompok tertentu, bahkan dimanipulasi oleh mafia bantuan untuk kepentingan segelintir orang. Di beberapa daerah, warga miskin yang seharusnya menerima bantuan justru harus “bermain sesuai aturan” dengan kata lain, menyerahkan sebagian bantuan kepada calo atau pemangku kuasa lokal. Mirip dengan Squid Game, mereka yang lemah dipaksa mengikuti aturan permainan yang tidak mereka ciptakan, demi sekadar bertahan hidup. Bahkan dalam dunia pekerjaan, masyarakat kelas bawah sering kali berada dalam posisi yang membuat mereka harus mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan hanya demi upah minimum. Sementara itu, pemilik modal duduk nyaman di balik layar, memetik keuntungan dari penderitaan yang mereka anggap sebagai konsekuensi biasa.


Kita juga bisa melihat fenomena yang serupa dalam ranah digital dan media sosial. Di TikTok misalnya, banyak pengemis atau pengamen virtual yang menayangkan kesusahan hidupnya secara langsung untuk meraup donasi dari netizen. Mereka ‘bermain’ dalam arus algoritma dan eksploitasi empati, dengan harapan mendapat simpati dari orang asing. Namun seperti peserta Squid Game, mereka tidak sepenuhnya bebas. Mereka berada dalam sistem yang memaksa mereka untuk tampil terus-menerus, mempertontonkan luka, dan mempertaruhkan harga diri demi mendapat ‘dukungan’ dari penonton yang menikmati tontonan itu dari layar mereka. Ini adalah bentuk baru dari ekonomi belas kasihan yang tak jauh berbeda dari permainan berdarah dalam serial tersebut.


Kehadiran musim kedua dan ketiga dari Squid Game memperluas ruang refleksi yang lebih dalam. Dalam salah satu episode musim ketiga yang kini ramai diperbincangkan di berbagai media sosial, terutama TikTok, peserta dipaksa memilih antara menyelamatkan diri sendiri atau membantu orang asing yang membutuhkan. Banyak penonton mencatat bahwa musim ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan menjadi rapuh ketika dihadapkan pada ancaman dan kekurangan. Ini sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari kita, di mana empati sering kali menjadi korban dalam persaingan yang semakin brutal. Keputusan-keputusan peserta bukan hanya soal strategi, tetapi juga soal moralitas yang teruji di bawah tekanan sistem. Kita melihat bagaimana manusia bisa menjadi sangat individualistik ketika sumber daya terbatas dan sistem mendorong mereka untuk berpikir “asal bukan saya yang kalah.”


Penting untuk mencermati bahwa Squid Game sebenarnya juga memberi ruang pada konsep keadilan formal, yakni saat para peserta di awal diberi kesempatan untuk memilih: melanjutkan permainan atau menghentikannya. Dalam adegan pemungutan suara, pilihan dihormati, suara terbanyak yang menolak permainan pun dilaksanakan, dan semua peserta dipulangkan. Namun justru di sinilah letak ironi yang mendalam: meskipun mereka dibebaskan, mayoritas peserta secara sukarela memilih kembali ke arena permainan karena tekanan hidup yang begitu besar di luar. Keadilan formal diberikan, tetapi ketimpangan struktural di dunia nyata tetap mendorong mereka untuk mempertaruhkan nyawa sebagai satu-satunya jalan keluar. Ini mengingatkan kita bahwa kebebasan memilih dalam sistem yang timpang sering kali hanyalah ilusi.


Menariknya, dalam musim ketiga yang baru saja dirilis, Squid Game tetap menyampaikan pesan bahwa keadilan, meski kecil, bisa tetap ditegakkan dalam ruang-ruang yang paling brutal sekalipun. Dalam episode penutupnya, ketika seorang bayi menjadi pemenang terakhir dari permainan karena pengorbanan yang diberikan oleh Seong Gi-Hun, sang karakter utama, yang memilih untuk terjun bebas dan mati sebagai peserta yang tereliminasi, Front Man tetap menghormati aturan permainan dan menyerahkan hadiah kepada pemenang yang sah. Ia bahkan memberikan hak asuh bayi itu kepada adiknya, Hwang In-Ho, menandakan bahwa meskipun sistemnya kejam, nilai kemanusiaan dan tanggung jawab tetap bisa ditegakkan. Begitu pula Front Man yang akhirnya memilih untuk mengalokasikan uang kemenangan Seong Gi-Hun pada musim pertama untuk masa depan anak perempuan Gi-Hun di Amerika. Ini adalah bentuk lain dari keadilan yang dijalankan secara moral, bukan sistemik.

Apa yang terjadi dalam Squid Game tidak muncul dari ruang hampa. Ketimpangan sosial yang ekstrem, relasi kuasa yang timpang, hingga runtuhnya moralitas manusia bukan semata soal ekonomi, tetapi juga soal pendidikan. Di tengah sistem yang menekankan kompetisi dan pencapaian individu, pendidikan kita sering kali gagal membentuk kesadaran kolektif dan empati sosial. Sekolah dan institusi pendidikan lebih banyak mengajarkan bagaimana menjadi pemenang, tapi jarang mengajarkan bagaimana bersikap terhadap yang tertinggal. Ini menyebabkan masyarakat terbiasa memaklumi kekerasan struktural, seperti yang tergambar dalam permainan mematikan, seperti “Lampu Merah, Lampu Hijau”, permainan gula dalgona, tarik tambang, kelereng, lompat kaca, permainan cumi-cumi, dan beragam lainnya pada musim kedua dan ketiga di Squid Game. Refleksi ini mengajak kita untuk kembali menimbang, apakah pendidikan hari ini masih punya keberanian untuk mempertanyakan sistem yang timpang, atau justru ikut melanggengkan ketidakadilan itu dalam bentuk yang lebih halus?


Masih dalam konteks pendidikan, muncul juga fenomena lain yang mengkhawatirkan, seperti siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu harus memilih antara melanjutkan sekolah atau membantu ekonomi keluarga. Mereka yang bertahan di sekolah sering kali harus menghadapi beban ganda karena kurangnya akses fasilitas pendidikan dan tekanan untuk berprestasi dalam sistem yang tidak mengakomodasi realitas hidup mereka. Persis seperti peserta Squid Game, mereka dipaksa untuk bermain dalam sistem kompetisi yang katanya setara, padahal kenyataannya tidak. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial justru berubah menjadi arena seleksi yang menyingkirkan yang paling rentan.


Begitu pula dalam sistem pendidikan dan ketenagakerjaan kita, permainan yang tampak seperti ‘kompetisi sehat’ sering kali hanya menyamarkan ketimpangan yang telah tertanam sejak awal. Permainan tarik tambang dalam Squid Game, misalnya, menjadi cerminan paling gamblang, yaitu kekuatan kelompok bukan semata-mata fisik, melainkan strategi dan solidaritas. Namun dalam sistem pendidikan kita, kerja sama justru dibatasi oleh sistem penilaian individualistik. Ujian nasional, seleksi perguruan tinggi, hingga perekrutan kerja hanya mengukur ‘siapa paling kuat’, tanpa mempertimbangkan latar sosial dan modal yang dibawa masing-masing individu. Di sini, kesetaraan bukan dimulai dari garis awal yang sama, melainkan dari jurang yang sudah dalam, tapi tetap disebut ‘adil’ oleh sistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun