Mohon tunggu...
Hasna Azura
Hasna Azura Mohon Tunggu... profesional -

I'm a librarian.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mbah Sambong dan Filosofi Tabur Tuai

1 Juni 2013   11:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:41 1406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kebahagiaan sejati adalah saat kita bisa memberi.

Sekiranya, kalimat tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Saat melihat kehidupan tetangga saya sehari-hari, tampaklah sebuah keluarga yang tentram dan harmonis. Mereka bukanlah golongan orang kaya, namun apa yang mereka lakukan tidak bisa dianggap sepele.

Di sebuah Desa Klithik, Kec. Geneng, Kab. Ngawi-Jawa Timur, tersebutlah seorang kakek, Mbah Sambong namanya. Mata pencahariannya sehari-hari adalah sebagai tukang pijat. Kami menyebutnya dukun urat, karena orang-orang selalu datang ke rumah beliau untuk diurut urat/ototnya apabila terjadi salah urat/keseleo. Di daerah kami, beliau sangat terkenal, melebihi nama-nama band anak muda padahal beliau tidak pernah berpromosi. Bahkan, gaung nama beliau sudah terdengar sampai luar kota Ngawi. Sebut saja Madiun, Ponorogo, Nganjuk, Sragen, Solo, bahkan sampai Yogyakarta. Setiap hari, rumahnya tak pernah sepi dari pasien. Keluhan mereka macam-macam, seperti keseleo, otot kaku, migrain, vertigo, diabetes, tekanan darah tinggi, stroke, asam urat, dan bahkan ketika saya bertanya pada salah satu pasien tentang apa keluhannya, dia menjawab ingin menguruskan badan! Luar biasa! (Apa hubungannya dukun urat dengan menguruskan badan? Tauk ah gelap!)

Keyakinan saya untuk datang berobat pada Mbah Sambong berawal ketika suami saya divonis dokter terkena penyakit HNP (syaraf terjepit). Oleh dokter, suami saya disarankan untuk operasi yang biayanya tidaklah sedikit. Saya sangat bingung, karena untuk makan sehari-hari saja kami harus banting tulang. Lalu, saya teringat Mbah Sambong. Dengan berbekal keyakinan dan doa yang tak putus-putus, saya mulai mengantar suami saya untuk berobat ke Mbah Sambong. Alhamdulillah, setelah 3 kali datang ke Mbah Sambong, suami saya yang tadinya lumpuh bisa berjalan lagi seperti orang normal. Metode yang Mbah Sambong gunakan tidaklah macam-macam. Hanya memijat atau mengurut dengan sangat perlahan otot yang sekiranya tidak pada tempatnya. Orang yang dipijat pun tidak merasa sakit, tidak seperti dukun sangkal putung atau dukun pijat lainnya. Untuk tarif, Mbah Sambong tidak pernah memberi patokan. Berapa pun pemberian pasien, selalu ia terima dengan ucapan syukur. Bahkan, apabila ada orang yang tidak punya biaya pun, Mbah Sambong tetap membantunya tanpa meminta imbalan apa-apa.

Di samping rumah Mbah Sambong, ada seorang janda, perantauan dari Bojonegoro. Mak Minem namanya. Mak Minem adalah seorang penjaja makanan keliling. Beliau mempunyai seorang bayi perempuan yang diberi nama Sri. Di rumah kontrakan itu, Mak Minem hanya tinggal berdua dengan Sri. Setiap Mak Minem berangkat untuk berjualan, Sri selalu ditinggal sendiri di rumah, ditidurkan di atas tikar di depan pintu. Pintu rumah Mak Minem tak pernah ditutup. Anehnya, setiap ditinggal Sri tidak pernah menangis, bahkan selalu tertawa-tawa apabila terbangun dari tidurnya seperti ada yang mengajaknya bercanda. Ternyata, ayam dan kucing piaraan Mak Minem lah yang selalu setia menemani Sri. Dua ekor binatang itu tak pernah jauh dari Sri, selalu berada di sekeliling Sri. Mengetahui keadaan tersebut, tanpa diminta, Mbah Sambong segera mengajukan diri untuk ikut mengasuh Sri ketika Mak Minem pergi berjualan, tanpa imbalan apapun tentunya. Mbah Sambong mengerti keadaan Mak Minem yang serba pas-pasan sehingga tidak bisa menyewa pengasuh anak. Mak Minem sangat terharu dan berterima kasih kepada Mbah Sambong. Berakhirlah kekhawatiran Mak Minem terhadap keadaan Sri yang selalu ditinggal sendirian itu. Sekarang, Sri selalu berada di rumah Mbah Sambong setiap Mak Minem pergi mencari nafkah. Istri Mbah Sambong sangat telaten merawat Sri, bahkan ia menyisihkan sebagian uang belanjanya membelikan susu untuk Sri. Mak Minem sadar bahwa ia tak bisa membalas kebaikan Mbah Sambong sekeluarga, dengan kemampuannya yang terbatas, Mak Minem selalu membawakan sedikit sayur-mayur atau sedikit bahan untuk bisa dimasak oleh istri Mbah Sambong.

Suatu hari, saya tergelitik untuk bertanya pada Mbah Sambong tentang hal apakah gerangan yang mendorong hatinya untuk berbuat demikian, padahal Mbah Sambong bukanlah orang yang kaya. Mbah Sambong mencari nafkah sendirian untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya, malah sekarang ditambah dengan Sri. Dengan tenang beliau menjawab: “Saya hanya berusaha menanam benih yang baik. Saya yakin, apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai.”

Saya jadi ingat, sebuah kalimat dalam buku Setengah Isi Setengah Kosong karya Parlindungan Marpaungyaitu: “Tidak selamanya hidup ini stabil, ada saatnya kita mengalami goncangan hidup. Jabatan, kekayaan dan fasilitas yang dimiliki saat ini merupakan ‘baju’ yang bisa dilepas setiap saat. Namun, kebahagiaan yang diperoleh melalui memberi dengan tulus adalah sesuatu yang abadi.” Kiranya hal itulah yang sedang dilakukan Mbah Sambong. Berbagi mengindikasikan pengorbanan dan kerelaan untuk memberi. Tuhan selalu melihat apa yang kita perbuat, dan tak pernah membiarkan kebaikan sekecil apapun tak berbalas. Tuhan Maha Adil. Terbukti saat Mbah Sambong sukses mengantarkan ketiga anaknya sampai lulus bangku kuliah. Mbah Sambong bukanlah orang kaya, namun dengan ketulusannya memberi dan menolong orang lain, membuatnya menjadi sosok istimewa di mata saya. Kebahagiaan sejati adalah saat kita bisa memberi. Mari kita berbagi!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun