Mohon tunggu...
Muhammad Hasyim
Muhammad Hasyim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Reading, writing, blogging

Suka kopi, buku sama bola

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wahyu, masih berlangsungkah?

8 Desember 2013   15:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13864913361850741890

Masalah wahyu menjadi salah satu topik pembicaraan akhir-akhir ini. Mencari kejelasan mengenai sesuatu hal yang disampaikan kepada kita merupakan langkah yang sangat penting dan bijaksana. Tulisan singkat ini semoga dapatmemenuhi perintah Allah Yang Maha Mengetahui, sesuai dengan firmanNya didalam Al Qur’aan Suci, Surah Al Hujuraat ayat 7*) yang menyuruh kita untuk meneliti dengan seksama sesuatu yang diutarakan atau disampaikan kepada kita , supaya kita tidak menyerang tanpa ilmu, pendapat atau pribadi orang lain agar tidak menyesal dikemudian hari mengenai apa yang kita lakukan.

Allah Yang Maha Berkata-kata (Al Mutakallim) berfirman sebagaimana yang tertera didalam Al Qur’aanul Kariim :

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.…” (Surah Al Maaidah : 4).

Didalam masyarakat nampak adanya pemahaman yang berbeda mengenai ayat ini. Sebagian berpendapat bahwa ayat ini membuktikan bahwasanya setelah turunnya AlQur’aanul kariim maka Allah telah berhenti menurunkan wahyu. Dengan kata lain tidak diperlukan lagi wahyu baru sebagai sarana komunikasi antara Sang Khaaliq dan makhluq. Sebagian lainnya berpendapat bahwa ayat tersebut tidak berarti terhentinya wahyu,akan tetapi menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam yang dengan mengikutinya, seorang akan mencapai derajat kerohanian yang tinggi; sebab hanya ajaran yang sempurnalah yang dapat membawa pengikutnya mampu meraih kemajuan dan keberhasilan yang tertinggi, terutama dalam kerohanian sesuai ketentuan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.

Keberhasilan seseorang untuk mendapatkan derajat tertinggi dalam kerohanian, bukan hanya menunjukkan kemampuan kerohanian orang tersebut tapi lebih dari pada itu menunjukkan kemampuan ajaran yang diikutinya itu membawa pengikutnya sampai kederajat yang tertinggi. Tanpa kekuatan dan kemampuan yang dikandung ajaran tersebut, tidak mungkin orangatau pengikutnya dapat mencapai derajat tersebut. Oleh karena itu, jika ada orang yang berkeberatan terhadap orang yang telah mencapai derajat tersebut sama halnya dia bekeberatan terhadap kemampuan dan kesempurnaan ajaran itu; maka sikap orang sepertiitu menunjukkan bahwa dia tidak mampu atau tidak berhasrat mencapai derajat kerohanian yang bisa mencicipi kelezatan rohaniah seperti itu.

Itulah sebabnya, wujud-wujud suci masa lampau yang hidup dimasa yang jauh setelah wafatnya Yang Mulia Nabi Agung Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga hidup jauh sebelum zaman kita, tidak pernah mengingkari dan tidak berkeberatan terhadap orang-orang yang bisa berkomunikasi dengan Allah Yang Maha Berkata-Kata (Al Mutakallim); dan dari penelaahan literatur yang ditulis oleh para ulama zaman awal Islam tersebut, Salafush Shaalihiin – yaitu para Ulama Besar dan Masyhur yang hidup dimasa silam , yang kesucian, kezuhudan, kemuliaan akhlak serta jasa mereka terhadap Islam tak diragukan lagi, dan sulit diperoleh tandingannya dimasa sekarang, dapat diketahui bahwa mereka sendiri mengalami hubungan yang erat dengan Allah Yang Maha Berkata-Kata; dan oleh karena itulah mereka menuliskan didalam karya tulis mereka tentang pengalaman- pengalaman rohani yang dialami serta pandangan–pandangan mereka tentang masih terbukanya pintu wahyu, yakni manusia masih dapat terus menerima wahyu dari Allah Yang Maha Berkata-Kata, sebagai bukti tak ada satupun Sifat Allah yang hilang atau yang tidak berlaku lagi; Justru Sifat Al Mutakallim dan semua Sifat-sifat-Nya tetap berlangsung dan abadi. Pernyataan dan pendirian mereka ini sungguh sangat sesuai dengan firman Allah Yang Maha Perkasa Dan Maha Berkata-kata, sebagaimana yang tertera didalamAl Qur-an Suci:

Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.(Surah Asy Syuuraa : 52). (Terjemahan dikutip dengan perubahan ejaan, dari “Al Quraan Dan Terdjemahannja, Djuz 21-Djuz 30, Departemen Agama Republik Indonesia, 1970).

Bahkan lebih daripada itu, mereka menuliskan bahwa derajat tertinggi dari tingkat-tingkat kerohanian sebagaimana yang disebutkan didalam Surah Annisaa ayat 70, dapat dicapai oleh mereka yang benar-benar ta’at kepada Allah dan Nabi Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, yakni dapat dicapai oleh orang-orang yang memperlihatkan dan menyebarkan keindahan akhlak sebagai ummat Nabi yang sangat santun, Rahmatullil’aalamiin dan hamba Allah Rabbul ‘aalamiin. Hal ini bukan berarti bahwa setiap orang yang demikian ini akan serta merta mencapai derajat tertinggi itu; sebab Allah Yang Maha Mengetahui berfirman bahwa Dia Maha Mengetahui dimana risalahNya ditempatkan.(Lihat Surah Al An’aam ayat 125 ).

Dari Surah Asy Syuuraa ayat 52 diatas tadi jelaslah bahwa wahyu , yang merupakan salah satu cara Allah Yang Maha Berkata-kata dan Maha Kuasa berkomunikasi dengan manusia(basyar), masih terus berlangsung; menurut ayat ini, wahyu tidak hanya turun khusus kepada para nabi dimasa lampau akantetapi masih dapat turun kepada manusia, kapanpun dan siapapun yang Dia kehendaki. Kata basyar pada ayat inimenunjuk kepada manusia secara umum. Dan turunnya wahyu tidak dibatasi oleh waktu ; sebab Allah , Al Mutakallim/Yang Maha Berkata-Kata, berfirman bahwa malaikat turun kepada orang-orang yang berakhlak mulia, calon-calon orang Sorgawi dan yang istiqaamah (yang tentu harus menyerap Sifat-sifat Allah Yang Maha Mulia sehingga berakhlak mulia dan santun sepertiNabi Muhammad ShallaLlaahu ‘alaihi Wasallam), Sang Rahmatul lil’aalamiin; sebagaimana firman-Nya :

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan(memperoleh) sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Surah Haa Miim Assajadah/Fushshilat :31). (Terjemahan dikutip dengan perubahan ejaan, dari Al Quraan Dan Terdjemahannja, Djuz 21-Djuz 30, Departemen Agama Republik Indonesia, 1970).

Ayat ini menunjukkan bahwa selama ada orang yang beriman kepada Allah dalam artian yang sebenarnya dan istiqaamah didalam mempraktekkan “takhallaquu bi akhlaaqillah” yakni berakhlak sesuai dengan Sifat-Sifat Allah, maka selama itu mereka akan didatangi malaikat untuk mewahyukan kepada mereka hal –hal yang menggembirakan karena Allah redha kepada mereka. Pada ayat ini tidak dibatasi tempat dan waktunya. Tidak harus di Arab atau juga tak harus dimasa lampau.

Jika ayat ini kita hubungkan dengan Surah Asy Syuuraa ayat 52, maka semakin jelaslah bahwa pintu wahyu masih tetap terbuka. Dan jika kita perhatikan Sabda Nabi Suci Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka yang dimaksud dengan wahyu disini adalah wahyu almubasysyiraat; bukan wahyu syari’at; dan turunnya kepada seseorang sesuai dengan tingkat kerohaniannya yaitu: 1). Wahyu langsung dari Allah Yang Maha Berkata-kata, 2). Dari belakang hijab/tabir, seperti kasyaaf, ru’ya shaalihah,3). Dengan perantaraan rasul/malaikat. Banyak ayat-ayat Al Qur-aanul Kariim yang mendukung ayat-ayat tersebut diatas; diantaranya, Surah ِAl Qadr ayat 5. Allah berfirman:

"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." (Terjemahan dikutip dengan perubahan ejaan dari, Al Quraan Dan Terjemahannja, Djuz 21 – Djuz 30, Departemen Agama Republik Indonesia, 1970).

Menurut ayat ini, selama masih ada malam Lailatul Qadr, artinya sampai Hari Qiyamat bahwa selama masih ada masa yang disebut Lailatul Qadr, para malaikat dan Malaikat Jibril tetap turun kepada hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah, Yang Maha Berkata-kata(Al Mutakallim), guna menghibur mereka dengan nuansa-nuansa rohaniah, meneguhkan keimanan dan akhlaq mereka.

Penggunaan istilah wahyu tidak hanya terbatas untuk menamai firman Allah kepada manusia. Istilah ini didalam Al Qur’an Suci digunakan juga untuk firman Allah Yang Maha Mulia yang diturunkan kepada hewan, yakni lebah. Sebagaimana firman Allah Yang Maha Pemurah untuk memberi petunjuk kepada lebah:

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “Buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu dan dirumah-rumah yang didirikan manusia!” (Surah Annahl : 69). (Terjemahan dikutip dengan perubahan ejaan dari, Al QuraanDan Terdjemahannja, Djuz 11-Djuz 20, Departemen Agama Republik Indonesia, 1970).

Ayat ini, selain membuktikan bahwa istilah wahyu digunakan juga untuk petunjuk dari Allah yang diturunkan kepada hewan, maka segaimana Surah Asy Syu’araa ayat 52, ayat inipun membuktikan bahwa istilah wahyu pun lebih pantas lagi jika digunakan sebagai sebutan bagi petunjuk dari Allah Yang Maha Berkata-kata yang diturunkan kepada manusia; dan juga menunjukkan bahwa wahyu tidak pernah terhenti diturunkan Allah Al Mutakallim bagi makhluk-Nya. Sebab selama masih ada lebah apa lagi manusia sebagai asyraful makhluuqaat (termulia dari semua makhluk), maka selama itu makhluk-Nya akan menerima wahyu. Lebih dari pada itu dan sangat utama ialah walaupun tidak ada lagi makhluk-Nya didunia ataupun dialam raya ini, Allah Yang Maha Berkata-kata tidak akan pernah kehilangan Sifat Al Mutakallim (Maha Berkata-kata). Bahkan tak satupun dari Sifat-Sifat-Nya yang akan hilang.

Dibandingkan komunitas lebah, ummat manusia sebagai asyraful makhluuqaat (termulia dari semua makhluk), memiliki berbagai aspek multi dimensi yang tentu komunitasnya lebih membutuhkan petunjuk yang terus menerus dari waktu ke waktu langsung dari Allah Yang Maha Berkata-Kata dan Maha Mengetahui.

*) Penulisan nomor ayat Al Qur-an Suci dalam tulisan ini berdasarkan Hadits Nabi BesarMuhammad Rasulullah Shallallaahu ‘AlaihiWasallam , riwayat Sahabat-Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu yang menunjukkan bahwa setiap basmalah pada setiap awal Surah, adalah ayat pertama Surah tersebut.

كان النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم لا يعرف فصل السّورة حتّى ينزل عليهبسم الله الرّحمن الرّحيم. ( ابو داؤد كتاب الصّلوة و الحاكم في المستدرك)

Artinya: “Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui pemisahan/jarak suatu Surah sehingga/kecuali turun kepada beliau, BismillaahirRahmaanirRahiim.”(HR.Abu Daud, “Kitaabu(l)shalaah”, dan Al Haakim dalam AlMustadrak).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun