Belajarlah dari sejarah, karena sejarah akan menentukan langkah masa depan bangsa. Kalimat yang sering diucapkan oleh banyak orang sebagai suatu nasihat. Tetapi, tidak benar-benar dipraktekkan, mengapa?
Pertanyaan mendasar itu seringkali muncul kepermukaan di tengah gencarnya berita hoaks yang bermunculan. Desas-desus sosial, kesejahteraan, ras, agama, bahkan permasalahan sepele saja bisa menjadi api pemantik perpecahan. Lantas, kenapa bangsa ini mudah sekali tersulut oleh persoalan yang demikian? Apakah kita tidak pernah benar-benar belajar dari sejarah masa lampau, ketika bangsa ini diadu domba dengan bangsa sendiri? Ini adalah pertanyaan yang klasik, namun juga berpotensi besar menjaga keutuhan bangsa ini.
Sejarah Politik Pecah Belah
Sebelum menginjak jauh kepada akar permasalahan, perlu diketahui bagaimana asal muasal politik adu domba itu ada dan pola-polanya. Sejarah politik adu domba atau pecah belah dikenalkan oleh seorang Kaisar Romawi, bernama Julius Caesar. Julis Caesar menggunakan politik pecah belah untuk menguatkan posisi kekaisaran Romawi atas daerah-daerah kekuasaannya.
Politik pecah belah atau dikenal dengan Devide et Impera (masa VOC) adalah suatu strategi militer yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dengan memecah kelompok besar menjadi kelompok kecil-kecil. Dalam konteks penjajahan, politik ini mencegah kelompok kecil bersatu membentuk kekuatan untuk melawan kaum penjajah. Tujuan dari pemecahan ini adalah memudahkan kaum penjajah untuk dalam mengontrol setiap pergerakan yang dilakukan oleh setiap kelompok.
Dalam catatan sejarah Indonesia, politik adu domba dikenalkan oleh bangsa-bangsa kolonialis, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Prancis pada abad ke-15. Hal itu, dilakukan guna mendapatkan kekuasaan monopoli dagang atas sumberdaya alam Indonesia yang kaya.
Pola-Pola yang digunakan dalam Politik Pecah Belah
Untuk mengetahui politik pecah belah ini bekerja, tentu bisa dipahami melalui pola-pola yang digunakan. Pertama, politik ini bekerja dengan prinsip make friend and create common enemy, yaitu menjalin persahabatan dan menciptakan musuh bersama. Cara ini dipandang efektif, diawali dari mencari kesamaan baik secara ras, kepentingan, politik, agama, suku, maupun visi. Lalu, menciptakan sebuah permusuhan dengan pihak lain, yang nantinya akan dibuat menjadi musuh bersama yang dianggap sebagai saingan.
Kedua, sistem ini bekerja dengan melakukan manajemen isu. Penyebaran berita-berita hoaks dikendalikan melalui sistem yang masif dan terstruktur melalui buzzer. Para buzzer ini menulis berita yang bersifat subjektif dan cenderung menjatuhkan lawan. Selain itu, mereka juga gemar menulis sesuatu yang menggiring opini publik sehingga publik menjadi saling membenci. Mereka memanfaatkan media massa dan platform media sosial sebagai sarana penyebaran berita dan tulisan-tulisan mereka. Hal ini dapat dilihat pada perhelatan pemilu di Indonesia, sejak pilkada DKI 2012 sampai pilpres 2019, yang ditandai dengan bermunculannya akun-akun twitter yang membahas, mulai dari politik identitas sampai dengan isu-isu agama.
Ketiga, menggunakan cara bermain di dua sisi. Cara ini menempatkan pihak ketiga seolah bersikap netral pada peselisihan dua pihak yang memperebutkan kekuasaan. Cara kerja ini mungkin bisa disebut sebagai penjilat. Seolah-olah bersikap netral, tetapi pada kenyataannya memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan politik bagi dirinya sendiri. Hal ini pernah dilakukan VOC dalam menguasai kerajaan Aceh pada abad ke-17. VOC yang awalnya memanfaatkan kerja sama dengan Aceh justru berbalik ingin menguasai Aceh, dengan meminta Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Sumatera melalui Tratktat Sumatera 1871.