Mohon tunggu...
Hasanudin
Hasanudin Mohon Tunggu... Freelance

Menyukai Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Bangsa Kita Mudah Diadu Domba

15 April 2023   11:58 Diperbarui: 15 April 2023   12:04 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Stop Hoaks (Sumber: sesawi.net)

Belajarlah dari sejarah, karena sejarah akan menentukan langkah masa depan bangsa. Kalimat yang sering diucapkan oleh banyak orang sebagai suatu nasihat. Tetapi, tidak benar-benar dipraktekkan, mengapa?

Pertanyaan mendasar itu seringkali muncul kepermukaan di tengah gencarnya berita hoaks yang bermunculan. Desas-desus sosial, kesejahteraan, ras, agama, bahkan permasalahan sepele saja bisa menjadi api pemantik perpecahan. Lantas, kenapa bangsa ini mudah sekali tersulut oleh persoalan yang demikian? Apakah kita tidak pernah benar-benar belajar dari sejarah masa lampau, ketika bangsa ini diadu domba dengan bangsa sendiri? Ini adalah pertanyaan yang klasik, namun juga berpotensi besar menjaga keutuhan bangsa ini.

Sejarah Politik Pecah Belah

Sebelum menginjak jauh kepada akar permasalahan, perlu diketahui bagaimana asal muasal politik adu domba itu ada dan pola-polanya. Sejarah politik adu domba atau pecah belah dikenalkan oleh seorang Kaisar Romawi, bernama Julius Caesar. Julis Caesar menggunakan politik pecah belah untuk menguatkan posisi kekaisaran Romawi atas daerah-daerah kekuasaannya.

Politik pecah belah atau dikenal dengan Devide et Impera (masa VOC) adalah suatu strategi militer yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dengan memecah kelompok besar menjadi kelompok kecil-kecil. Dalam konteks penjajahan, politik ini mencegah kelompok kecil bersatu membentuk kekuatan untuk melawan kaum penjajah. Tujuan dari pemecahan ini adalah memudahkan kaum penjajah untuk dalam mengontrol setiap pergerakan yang dilakukan oleh setiap kelompok.

Dalam catatan sejarah Indonesia, politik adu domba dikenalkan oleh bangsa-bangsa kolonialis, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Prancis pada abad ke-15. Hal itu, dilakukan guna mendapatkan kekuasaan monopoli dagang atas sumberdaya alam Indonesia yang kaya.

Pola-Pola yang digunakan dalam Politik Pecah Belah

Untuk mengetahui politik pecah belah ini bekerja, tentu bisa dipahami melalui pola-pola yang digunakan. Pertama, politik ini bekerja dengan prinsip make friend and create common enemy, yaitu menjalin persahabatan dan menciptakan musuh bersama. Cara ini dipandang efektif, diawali dari mencari kesamaan baik secara ras, kepentingan, politik, agama, suku, maupun visi. Lalu, menciptakan sebuah permusuhan dengan pihak lain, yang nantinya akan dibuat menjadi musuh bersama yang dianggap sebagai saingan.

Kedua, sistem ini bekerja dengan melakukan manajemen isu. Penyebaran berita-berita hoaks dikendalikan melalui sistem yang masif dan terstruktur melalui buzzer. Para buzzer ini menulis berita yang bersifat subjektif dan cenderung menjatuhkan lawan. Selain itu, mereka juga gemar menulis sesuatu yang menggiring opini publik sehingga publik menjadi saling membenci. Mereka memanfaatkan media massa dan platform media sosial sebagai sarana penyebaran berita dan tulisan-tulisan mereka. Hal ini dapat dilihat pada perhelatan pemilu di Indonesia, sejak pilkada DKI 2012 sampai pilpres 2019, yang ditandai dengan bermunculannya akun-akun twitter yang membahas, mulai dari politik identitas sampai dengan isu-isu agama.

Ketiga, menggunakan cara bermain di dua sisi. Cara ini menempatkan pihak ketiga seolah bersikap netral pada peselisihan dua pihak yang memperebutkan kekuasaan. Cara kerja ini mungkin bisa disebut sebagai penjilat. Seolah-olah bersikap netral, tetapi pada kenyataannya memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan politik bagi dirinya sendiri. Hal ini pernah dilakukan VOC dalam menguasai kerajaan Aceh pada abad ke-17. VOC yang awalnya memanfaatkan kerja sama dengan Aceh justru berbalik ingin menguasai Aceh, dengan meminta Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Sumatera melalui Tratktat Sumatera 1871.

Pola keempat ialah menjadikan mengangkat pemimpin lokal menjadi bagian rantai kekuasaan paling bawah. Tujuannya sebagai informan sekaligus juga menontrol gerak-gerik masyarakat. Biasanya, pola seperti ini akan memberikan sebuah pengakuan secara resmi terhadap entitas tertentu. Alih-alih menjalin kerja sama, pola ini justru menjadikan daerah tersebut sebagai bagian dari koloni penguasa saat itu. Para penguasa lokal ini akan dihadiahi kekayaan, barang-barang mewah yang cukup besar, sehingga sangat mustahil sekali untuk ditolak.

Pola-pola seperti inilah yang nyatanya sering ditemui belakangan ini. Apalagi menjelang moment pemilu, tiap-tiap kubu akan saling serang dengan tujuan menjatuhkan pihak lawan.

Mengapa bangsa Kita Mudah di adu domba?

Memasuki era reformasi, praktik politik adu domba di Indonesia tetep saja eksis, meskipun di negara Belanda sudah tidak digunakan lagi. Saat ini, praktik politik adu domba ini dibungkus dengan model baru, yakni melalui buzzer. Para buzzer  ini dikontrak dan dibayar untuk membuat sebuah konten-konten pencitraan tokoh politik. Aksi buzzer ini dinilai bisa mendengungkan isu-isu panas untuk membangun personal branding tokoh politik yang di dukungnya. Isu-isu tersebut akan menjadi perdebatan seru di akar rumput, yang mengarah pada ketidakproduktivan dan tidak sehat dengan narasi yang meyudutkan.

Ada berbagai alasan mengapa bangsa ini mudah sekali tersulut oleh politik adu domba. Pertama, dilihat dari segi ekonomi dimana terjadi ketimpangan kesejahteraan antar masyarakat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fathor Rahman dengan judul Perubahan Pola Perilaku Sosial Dan Ekonomi Buruh Tani Akibat Industrialisasi, menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku ekonomi suatu masyarakat. Oleh karenanya, seseorang dengan tingkat kesejahteraan yang baik cenderung akan berpikir lebih logis, daripada mereka dengan tingkat kesejateraan yang lebih rendah.

Kedua, ditinjau dari segi pendidikan. Indoneisia adalah negara yang memiliki penduduk terbanyak keempat di dunia dengan jumlah 276,36 juta jiwa (https://databoks.katadata.co.id/). Namun, dari sekian banyak jumlah penduduk, hanya 6,41% yang sudah mendapatkan fasilitas pendidikan tinggi, sisanya di duduki oleh tamatan SLTA 20,89%, SMP 14,54% dan juga Sekolah Dasar 23,4%. Rendahnya angka penduduk yang mendapatkan pendidikan tinggi menjadi salah satu andil besar terhadap tingkat perpecahan. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat literasi yang diperoleh. Menurut data dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 72 negara di dunia pada tingkat literasi. Data ini menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia masih sangat rawan apabila disuguhkan dengan isu-isu panas. Karena isu yang digulirkan tersebut akan ditelan mentah-mentah tanpa diperhatikan kebenaran informasi tersebut.

Ketiga, sentimen agama di Indonesia masih sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa belakangan ini, sejak 2012 hingga 2019. Isu-isu agama seringkali digulirkan untuk menyerang lawan, sekaligus meraup keuntungan suara atas nama agama.

Indonesia dikenal dengan negara paling religius di Asia Pasifik. Namun, kereligiusan tersebut seringkali tidak diiringi dengan kesadaran akan keberagaman, sehingga melahirkan segmen fundamentalis. Segmentasi ini terjadi ketika seseorang tidak dapat memahami esesnsi agamanya dengan baik. Bila hal ini tidak segera ditangani, tentu akan menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa meledak bila pemicunya ditarik. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konkrit untuk mencegah bom itu meledak, salah satunya adalah pemahaman terhadap moderasi beragama.

Pemahaman moderasi beragama akan mengakomodir terhadap adanya perbedaan-perbedaan yang terjadi, sehingga seseorang akan memiliki pandangan yang baik terhadap keberagaman yang ada di Indonesia. Pemahaman terhadap keberagaman dibarengi dengan memahami esensi agama akan melahirkan kolaborasi positif, yakni nilai-nilai toleransi. Inilah yang kemudian akan menghindarkan dari jurang perpecahan, ketika setiap orang mampu memahami esensi agaman dan keberagaman secara benar.

Ketiga faktor di atas, menurut hemat penulis menjadi penyumbang dalam konflik-konflik yang terjadi belakangan ini. konflik ini menyebabkan instabilitas politik tidak terkendali dan memudahkan antar kubu-kubu untuk saling serang. Tentu, kita tidak ingin bangsa ini terus terjerumus dalam jurang perpecahan yang disebabkan oleh praktik-praktik politik adu domba. Kesadaran diri untuk bisa menjaga persatuan dan kesatuan sangat penting di tengah-tengah masyarakat yang multikulural. Dengan berkaca dari sejarah masa lalu, harusnya bisa menjadi gambaran untuk bisa menentukan langkah dalam menghadapi isu-isu yang sengaja digulirkan untuk memecah belah. Sehingga bangsa ini bisa terhindarkan dari perpecahan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun