Mohon tunggu...
Haryanto
Haryanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Komunikasi, Praktisi Filantropi dan Peminat Budaya Massa

Masih aktif mengajar komunikasi dan public relations di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Juga masih aktif sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan televisi siaran dan ditugaskan untuk mengelola bidang kegiatan corporate social responsibility dan filantropi perusahaan. Beberapa kali membeirkan training mengenai kehumasan dan menulis untuk keperluan skenario, artikel dan fiksi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Empat Tafsir Film Finding Srimulat

16 April 2013   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:06 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13661055781167129366

Finding Srimulat yang saat ini sedang ditayangkan di jaringan bioskop 21 diakui oleh sebagian besar penontonnya sebagai film yang menghibur dan mengajak introspeksi. Terutama terkait dengan kepedulian terhadap seni budaya tradisional klasik yang saat ini terlupakan. Sejajar dengan Srimulat, seberapa seringkah kita melihat kesenian Kethoprak, Wayang Orang, Wayang Kulit, Kolintang, dan sebagainya mengedepan di era internet saat ini. Orang baru terhenyak manakala ada kabar negara tetangga mengklaim seni tradisi yang berakar pinak di bumi nusantara ini. Berharap dari pemerintah yang riuh dengan segala persoalan poitik, penegakan hukum, dan pembagian kekuasaan, rasanya tidak mungkin kita cuma ngomel atau ngedhumel terus menerus. Dalam lingkup semacam itulah ide melayarlebarkan Srimulat berkecambah, bertunas, berkembang hingga akhirnya merekah. Boleh jadi bagi penonton Finding Srimulat sekadar film dengan jalinan cerita sederhana, kualitas teknis yang ga bagus, tapi punya cita-cita dan mimpi yang tinggi bukan ambisius yaa... Tapi sesungguhnya banyak metafora yang tersebar dan disebar oleh para penggagasnya dalam Finding Srimulat. Yuuk kita coba kupas...

Tafsir 1: Adika Fajar, anak muda zaman kiwari yang masa kecilnya diasuh sepasang orangtua penuh kasih sayang dan besar dalam kejayaan produk budaya Indonesia: Film-film Indonesia berkualitas (November 1828, Istri Dulu Istri Sekarang dan Srimulat). Ayahnya seorang proyektoris sebuah bioskop sederhana yang dimiliki turun temurun dan bukan milik jaringan monopoli raksasa. Tafsir ini digambarkan secara apik lewat adegan Adi yang hanya berkauskutang, ikut ngintip di lobang proyektor dan nonton film di bawah layar. Sementara  ibunya menyajikan orange juice dan sang ayah juga cuma berkaos oblong. Ini curhatan sang sutradara, pada suatu masa industri Film Indonesia mampu melahirkan karya-karya besar secara artistik dan komersil dalam situasi sederhana. Toh, ketika zaman berubah dan teknologi digital memudahkan proses produksi dan penyebarannya, film Indonesia dihadapkan pada kenyataan yang ga bisa dihindari: ketiadaan modal. Apalagi ketika content yang dimaksud adalah sebuah produk komedi klasik: Srimulat. Tafsirnya adalah: Mereka yang paham tentang perfilman Indonesia tentu mahfum, sepanjang kelahirannya Film Indonesia lebih banyak menjadi tamu di rumahnya sendiri: bioskop Indonesia.

Tafsir 2: Persoalan manusia modern agar dapat eksis dalam kehidupan adalah pemenuhan kebutuhan materi sebagai penunjang, baik untuk gaya hidup ataupun kebutuhan hidup sehari-hari. Kredit konsumtif menjadi solusi singkat, sehingga manakala dihadapkan pada jalan buntu keuangan, dunia serasa kiamat. Padahal tidak setiap hal bisa diantisipasi. Adi mengalaminya, ketika dia memenuhi semua down payment pementasan dengan tabungan untuk istrinya melahirkan, dengan harapan investasi Pak Hasmi bisa menutupi sisanya. Boro-boro memenuhi sisa pembayaran, bahkan pengembalian uang miliknyapun suram. Betapa sikap sembrono seperti ini menjangkiti kita semua dalam mengelola keuangan. Berani kredit: kartu, kendaraan, rumah, perlengkapan komunikasi, dan sebagainya, tetapi menjadi kelabakan ketika harus membayarnya. Sementara pendapatan tidak mampu mengejar konsumtif. Penyakit orang modern.

Pada Finding Srimulat, karakter Adika Fajar adalah seorang fighter yang tidak menyerah pada keadaan. Sejak awal digambarkan, meski kondisi EO-nya ambruk dengan spartan dia menyambangi satu persatu para anggota Srimulat untuk meyakinkan mereka kembali pentas. Maka, flashmob di stasiun Balapan, Solo bukan hanya sebagai appetizer untuk adegan puncak di WO Bharata, melainkan juga uji coba pementasan Srimulat menggunakan karakter dasar Srimulat: lawak, nyanyi dan tari. Ini sesungguhnya puncak optimisme Adi, sehingga dia dengan ‘nekad’ menggunakan uangnya untuk membayar DP. Apalagi setelah itu datang Pak Hasmi Sadikun yang optimis memberikan biaya pementasan. Dihadapkan pada ‘takdir’ seorang fighterpun tersungkur, tapi tidak lantas terkapar. Dialog antara Adi dan Jo Lim (Fauzi Baadila, pas banget memainkan karakter antagonis, meski cuma satu scene) menjelang babak akhir film menggambarkan sikap Adi itu. Tafsirnya adalah: tidak ada kata mudah untuk mewujudkan mimpi. Satu hal utama, jangan menyerah. Bahkan ketika jatuh tersungkur dan nyaris hancur, melacurkan ide dan mimpi tidak menjadi pilihan.

Tafsir 3: Kehebohan di atas panggung Srimulat ketika Astrid datang dan melahirkan ditanggapi penonton dengan reaksi ketawa. Padahal yang di atas panggung sedang heboh dengan emosi masing-masing. Inilah tragedi. Kesedihan dan kegembiraan, tipis sekali bedanya. Kesusahan dan kesedihan pada sebagian orang, ditafsirkan secara gembira oleh orang lainnya. Tafsir paling kontemporer untuk hal ini adalah, ketika Jakarta direndam banjir selama dua minggu, ratusan ribu rumah teredam, jutaan jiwa terancam, pada saat yang sama segelintir pemilik villa di wilayah puncak yang jadi daerah resapan air tak terganggu. Inilah tafsir paling ekstrim yang diterjemahkan sutradara dalam babak-babak akhir adegan puncaknya. Ketawa dan tangis saling berkelindan menciptakan beragam rasa.

Bahkan proses kelahiran yang dibantu oleh ‘Drakula’ dapat dilihat dengan tafsir ini. Bagaimana mungkin mahluk pencabut nyawa yang ditakuti itu, justru adalah perantara kepada awal kehidupan baru. Babak-babak puncak Finding Srimulat adalah orkestrasi kehidupan manusia yang diramu sang sutradara dengan sangat komunikatif, tanpa berpretensi seserius film-film artistik. Dengan kualitas pengambilan gambar ‘seadanya’ dan tidak menghindari shoot mewah dengan sudut pengambilan gambar yang mungkin indah di mata sutradara, tetapi tidak komunikatif, penonton justru bisa mencerna dan memahaminya. Tafsirnya adalah, dalam duka selalu terselip tawa. Duka hari ini, bisa jadi harapan dan kegembiraan esok hari. Boleh jadi kedukaan adalah awal sebuah kehidupan baru.

[caption id="attachment_248151" align="alignnone" width="300" caption="Adika (Reza Rahadian) mengambil Flashmob Srimulat di Stasiun Balapan, Solo (Dok. Magma Entertainment)"][/caption]

Tahap 4: Sadarkah penonton - sebagian atau semuanya ada tiga tafsir yang dapat kita ambil pada adegan proses kelahiran dalam bentuk siluet yang tertutup layar. Pertama, sutradara sedang merepresentasikan ulang kelahiran sang Juru Selamat di kandang domba. Suatu kisah yang terkenal di kalangan pemeluk agama Kristen menjelang kelahiran Yesus. Adegan itu dilukiskan saat siluet Adika mendatangi Astrid yang tergeletak dipangkuan Ibu Jujuk, sementara siluet dua orang yang membantu kelahiran berada di sekitar kaki Astrid (ini adegan yang teaterikal sekali). Kedua. Sutradara memang sengaja mendesain adegan menggunakan siluet. Harapannya, ini menggugah ingatan penonton pada kejayaan seni tradisionil Wayang Kulit yang kini tergerus zaman. Setidaknya, niatan itu berhasil, karena seorang penonton di sebelah saya tertawa dan bergumam, “hehehe.. kayak adegan wayang kulit,” katanya. Ketiga. Ketika layar panggung terbuka dan Adi telah menggendong anaknya, secara dramatis Adi mengangkat dan mengajukannya ke hadapan penonton, meski Tessy melarangnya dengan ekspresi lucu. Ini juga menarik ingatan kita pada adegan film Lion King di atas tahta batu. Tafsir keseluruhan adegan ini adalah, boleh jadi yang tua dan lama tergerus zaman. Zaman yang sama juga melahirkan harapan baru dan semestinya putus asa tidak punya tempat dalam diri manusia.

Dengan kacamata sederhana, ini adalah film dengan plot yang sederhana yang siapapun bisa menikmatinya tanpa berkerut kening. Kualitas tekniknya juga sederhana, dan tidak nganehi. Karena kalau cara bertutur kite ribet, bagaimana mungkin pesan yang sederhana itu mudah dicerna. Tetapi, pesan utamanya sebetulnya tidak sesederhana kelihatannya. Dan hanya orang-orang yang berjiwa besar yang bisa melihat dan menikmatinya. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun