Mohon tunggu...
Harum Soedah
Harum Soedah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Setiaku, Wong

18 Mei 2015   10:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Nikmat telah ditentukan. Maka, jika nikmat itu datang kepadamu, janganlah menyia-nyiakannya. Sebab, nikmat itulah yang dapat menguapkan rasa pedih di hatimu. Percayalah aku, sayang.”

Kisah ini berlangsung sore kemaren, tepatnya ketika wong berpapasan didepan rumahnya dengan seorang wanita separuh baya, hanya beda 5 tahun lebih muda dari wong. Wanita itu sungguh menawan dengan celana yang sedikit diatas lutut, ketat pula. Ia sama sekali tidak memakai jilbab, sehingga membuat rambut halusnya itu terurai oleh tiupan angin. Selesai tersenyum dengannya, wong masih terus saja menatap wanita itu walaupun sudah agak jauh. Hampir saja wong melihat bagian belakang bawah dari wanita itu.

“Mas, kamu sedang apa didepan sana? Bisakah kamu bantu aku membereskan rumah?” Suara istrinya membuat wong terkejut bukan kepalang. Sehingga membuatnya segera melihat kearah langit-langit agar tidak ketahuan bahwa wong sedang menghintai wanita cantik itu.

Wong sempat merasa kesal sebab istrinya tidak seperti wanita yang ia selerakan. Berjilbab, rok panjang dan serba tertutup itu memang bukan seleranya wong. Wong lebih suka yang bercelana mini ketat, dengan rambut halus yang seolah-olah melambai kepadanya. Namun apa dikata, kehidupan wong telah ditentukan oleh takdirnya sendiri. Wong dijodohkan dengan Astrid, istrinya itu. Bahkan, hampir setiap sebelum tidur, ia sering sekali menggrutu tak karuan didalam benaknya sendiri. Tak ada seorangpun yang tahu. Istrinya yang berada disampingnya sekalipun juga tidak tahu menahu. “Mengapa aku hidup seperti ini? Apakah tuhan tidak mengerti sama sekali isi hatiku?” protes wong dalam benaknya. Walaupun begitu, wong tetap saja menjalankan hidupnya yang serba tak sedap menurutnya itu tanpa kekecewaan lalu mengakhiri hidupnya dengan cara terhina, bunuh diri. Memang benar, walaupun wong sama sekali tidak suka dengan hidup yang dijalaninya secara terpaksa itu, namun ia juga tidak akan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sebab masih ada hal lain yang menyenangkan menurutnya. Seperti halnya, mengambil perhatian para wanita cantik, Memerhatikan cara jalan mereka yang serba geal-geolnya. Padahal, tak terlalu menarik memperhatikan wanita-wanita cantik itu. Biasa saja. Namun, bagi wong itu sebagai hiburan tersendiri baginya seorang.

***

“Mas, hari ini kamu kerja, kan?” suara istrinya dari luar kamar lagi-lagi membuat wong jengkel. Jengkel, sebab wong saat itu masih dalam keadaan tertidur. Kemudian terbangun karena suara istrinya itu. Wong sama sekali tidak menjawab istrinya. Ia hanya duduk dengan kepala dibawah, tidak ingin melihat istrinya.

“Kerja gak kamu hari ini, mas?” tanya Astrid dengan suara yang melantun lagi, istrinya. Astrid sungguh khawatir sekali dengan kondisi wong, suaminya. Memang, pagi ini seharusnya wong sudah berangkat kerja, namun astrid tidak tahu apa alasan wong sehingga kesiangan begini. Pikir astrid, wong sakit. Dengan alasan sakit itulah, astrid berlari-lari kecil ke dapur dan segera membuatkan teh hangat serta menyiapkan obat-obat yang diperlukan untuk suaminya itu. Namun tak berapa lama kemudian, wong keluar dari kamarnya dengan kemeja kotak-kotak coklat -warna kesukaan wong -yang dibelikan astrid saat ulang tahunnya. Astrid tersenyum lebar saat melihat suaminya memakai kemeja yang ia belikan sebagai hadiah ulang tahun. Baru pagi itulah, pertama kalinya wong memakai hadiah kemeja dari istrinya itu. Sebelumnya tidak pernah.

“Mas, jangan paksain diri kalau sakit. Gak apa-apa kok kalau mas gak kerja. Dari pada paksain diri, mendingan kita berduaan saja dirumah seharian. Bercerita sambil meminum teh hangat. Gak masalah juga kalaupun mas memang tidak suka teh, saya akan buatkan kopi buat mas.”

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari sepasang bibir wong. Ia tetap saja pada pendiriannya–bekerja. Walaupun pada hakikatnya wong bukannya ingin bekerja, tapi ia ingin keluar dari rumah. Ia paling malas dirumah, apalagi berduaan seharian bersama istrinya itu. Segera wong meninggalkan rumahnya dengan membawa makan siang yang barusan ia ambil dari genggaman astrid.

“Ah, untuk apa aku memakai baju ini?” keluh wong saat dipertengahan jalan menuju pabrik besi. Ia pun melepaskan kemeja coklat yang dipakainya sehingga nampak kaos abu-abu yang dipakainya double tadi. Menggumpalkan kemeja itu menjadi bulat lalu memasukannya kedalam saku celana yang agak besar. Tidak tahu mengapa, wong tiba-tiba merasa lapar yang tak tertahankan. Lapar sekali. Semalam, ia sama sekali tidak makan malam. Ditambah barusan, ia tidak sarapan. Padahal sarapan sudah disiapkan astrid di meja dapur. Lengkap sekali. Namun, keberuntungan masih saja memihak wong. Makan siangnya ia garap pagi itu juga, “Ah, sudahlah. Makan sajalah ini”

Wong sedikit terkejut sesaat melihat hadirnya sebuah kertas didalam kotak makan siangnya itu. Karena penasaran, wong kemudian membuka kertas itu. Sebuah tulisan yang dikemas dalam bahasa yang apik, sehingga membuat wong terperangah membacanya. Dan diperkuat dengan kondisi kertas yang basah karena tetesan air mata. Bukan sebuah dugaan belaka, namun itu memang benar bekas tetesan air mata.

Sayangku, wong.

Aku akui aku memang manusia biasa, tak sempurna. Tak juga seperti apa yang kau inginkan. Jika aku ada salah, apa salahnya kamu memaafkan aku. Aku tidak meminta lebih, aku hanya ingin kamu memaafkan aku. Itu saja cukup membuatku bahagia. Tapi, percayalah sayang, aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi wanita yang terbaik di pelupuk mata indahmu itu.

Kamu tahu, setiap sore aku selalu memerhatikanmu. Aku tahu kamu selalu memerhatikan wanita-wanita yang lewat didepan rumah, kan? Namun walaupun begitu, aku tetap saja menyayangimu. Aku juga merasa sedih jika kamu tak ikut makan bersamaku. Padahal, aku sangat menanti-nanti itu. Saat dimana kita berdua, bercerita sambil melempar senyum, tertawa bersama. Menghilangkan kesedihan dengan kebahagiaan. Jadi, bisakah kamu memaafkan aku? Aku tahu, kamu berbuat demikian setiap harinya itu karena aku ada salah padamu.

Lupakan kepedihan yang lalu. Kini, kita mulai melangkah berdua. Menapaki hidup sama sakit, sama bahagia. Dan satu hal yang harus kamu ingat, aku akan tetap menyayangimu walaupun engkau menyakitiku. Jadi, kini telah kutunggu hadirnya dirimu untuk menemaniku makan malam bersama.

Dengan cepat, wong mengambil kemeja coklat yang ia simpan di saku celananya dan segera memakainya kembali.

tulisan ini juga bisa di lihat di blog "www.haroemsoedah.wordpress.com"


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun