Hari itu, matahari sore memantulkan cahaya ke jendela besar gereja. Udara terasa hangat, suara jemaat yang mulai berdatangan memenuhi ruangan, dan di panggung, musik latihan terakhir masih terdengar.
Aku berdiri di sudut ruangan, mencoba mengatur napas. Jantungku berdetak cepat, seakan berusaha melompat keluar dari dada. Hari itu adalah hari penting bagiku penampilan pertamaku menari di gereja.
Aku masih ingat bagaimana beberapa minggu sebelumnya aku memutuskan untuk ikut latihan. Aku bukan penari profesional, bahkan bisa dibilang ini dunia baru bagiku. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin memuji Tuhan lewat tarian. Aku belajar dari awal: gerakan tangan, langkah kaki, ekspresi wajah.Â
Tidak semuanya mudah, tapi aku berusaha sekuat mungkin.
Sebelum naik panggung, aku tersenyum pada diriku sendiri di cermin, mencoba meyakinkan hati, "Kamu bisa. Tuhan lihat usahamu."
Musik pun mulai.Â
Kaki ini bergerak sesuai latihan, meski sedikit gugup membuat beberapa gerakanku terasa kaku. Tapi aku bertahan, mencoba fokus pada tujuan: tarian ini untuk Tuhan, bukan untuk dinilai manusia.
Selesai menari, aku menarik napas lega. Di antara jemaat, aku melihat beberapa orang tersenyum padaku. Itu membuatku sedikit tenang.
Tapi hanya beberapa menit kemudian, semua rasa lega itu hilang.
Di tengah keramaian, aku mendengar seseorang berbicara pada temanku yang lebih mahir menari, "Kayaknya dia masih kaku."
Kalimat itu seperti petir yang menyambar tanpa peringatan.Â
Aku berdiri kaku. Rasanya seperti darah di tubuhku berhenti mengalir. Aku tahu aku masih belajar, aku tahu aku belum sempurna, tapi mendengarnya diucapkan begitu... langsung di depan temanku... itu menyakitkan.
Sejak detik itu, pikiranku penuh tanya:
"Kenapa aku ikut menari? Apa aku memang tidak berbakat? Haruskah aku berhenti saja?"
Satu kalimat itu menghancurkan keyakinan yang sudah susah payah kubangun. Bukan sekadar kritik itu terasa seperti stempel bahwa aku gagal.
Hari-hari setelahnya, aku mulai kehilangan semangat latihan. Aku sering mencari alasan untuk tidak hadir. Setiap kali mendengar musik tarian itu, aku teringat pada komentar tersebut.Â