Pernahkah kamu merasa lelah bukan karena pekerjaan atau tugas kuliah, tetapi karena interaksi dengan seseorang? Mungkin kamu merasa tidak dihargai, dibanding-bandingkan, atau bahkan direndahkan.Â
Lalu tanpa sadar, kita mulai bertanya: "Kenapa orang itu begitu toxic?" Tapi pertanyaan yang lebih penting untuk diajukan adalah: "Jangan-jangan, aku juga pernah bersikap seperti itu?"
Kata "toxic" sudah menjadi istilah populer, terutama di media sosial. Tapi seringkali, kita menyederhanakannya hanya sebatas sifat galak atau suka marah-marah. Padahal, menjadi toxic tidak selalu terlihat dramatis.
 Bisa jadi kita adalah orang yang suka menyindir halus, terlalu sering mengkritik tanpa empati, membandingkan pencapaian orang lain dengan milik kita, atau bahkan suka menyebar energi negatif lewat gosip atau keluhan.
 Sifat-sifat ini mungkin tampak sepele, tetapi perlahan bisa merusak hubungan, meruntuhkan semangat orang lain, dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka membawa racun dalam sikap dan perkataan mereka. Mereka merasa "jujur" padahal menyakitkan, merasa "peduli" padahal mengontrol, merasa "tegas" padahal tidak pernah memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh. Di sinilah pentingnya refleksi diri. Kita perlu belajar bercermin dengan jujur.Â
Sebab, cermin tidak pernah berbohong ia hanya menunjukkan apa adanya. Kadang-kadang, kita menyalahkan dunia karena kita tidak mau memperbaiki diri.
Perilaku toxic tidak muncul begitu saja. Sering kali, ia berasal dari luka yang tidak pernah sembuh. Orang yang pernah diremehkan bisa tumbuh menjadi orang yang meremehkan.Â
Orang yang tidak pernah divalidasi perasaannya bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak peka terhadap perasaan orang lain. Luka yang tidak disembuhkan akan berdarah ke orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah. Namun, meskipun kita adalah produk dari masa lalu, kita tetap punya pilihan untuk tidak menyakiti.
Mengubah diri bukan soal menjadi sempurna, tapi menjadi lebih sadar.Â