"Anakku susah banget lepas dari HP."
 "Dibilang belajar, malah main game."Â
"Kalau nggak dikasih gadget, bisa ngamuk seharian."
Kalimat-kalimat ini mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Mungkin terdengar dari mulut tetangga, teman, bahkan kita sendiri sebagai orang tua.
Tapi...
 Apakah semua ini sepenuhnya salah anak?
 Siapa yang pertama kali memperkenalkan gadget kepada mereka?
 Siapa yang menjadikan HP sebagai "pengasuh darurat" saat kita lelah dan ingin tenang?
Gadget memang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi bisa bermanfaat, tapi di sisi lain bisa menggerus masa depan anak jika kita, orang tua, tidak hadir membimbing.
Gadget Bukan Masalah, Tapi Polanya yang Jadi Racun
Kita hidup di era digital, di mana hampir semua anak sudah terhubung ke internet sejak usia dini.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sekitar 74,34% anak Indonesia usia 7--17 tahun pernah mengakses internet pada periode 2018--2022. Bahkan lebih dari 39% anak usia 0--6 tahun sudah menggunakan ponsel, dan sekitar 6% bayi di bawah usia 1 tahun sudah mengenal gadget.
Yang mencengangkan, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sekitar 98% anak usia 6--12 tahun menggunakan gadget rata-rata 6 jam 45 menit per hari---terutama untuk menonton video, bermain game, dan berselancar di media sosial.
Padahal, WHO hanya merekomendasikan screen time maksimal 1--2 jam per hari untuk anak-anak, tergantung usia.
Sayangnya, banyak orang tua hari ini menjadikan gadget sebagai "penenang instan".
 Ketika anak mulai rewel, langsung diberi HP.
 Ketika orang tua sibuk atau lelah, gadget jadi "pengganti" kehadiran.