Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Narasi untuk Memahami "Kukila"

7 Januari 2018   19:12 Diperbarui: 13 April 2018   22:39 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kukila - Kumpulan Cerita

Kukila tiba di meja dengan novel tipis "Of Mice and Men". Buku-buku pesanan itu tiba lebih cepat dari prakiraan. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan kedua buku tersebut. Bahkan "Of Mice and Men" saya selesaikan dalam satu kali perjalanan pulang, di kereta, dari kantor ke rumah. Sedangkan Kukila saya baca pelan-pelan. Tidak ingin buru-buru untuk buku yang sudah lama diidamkan sejak dulu.

Saya masih ingat: sengaja disisakan dua cerita untuk dibaca nanti sepulang kerja. Buku itu saya letakan di meja dan Widha menghampiri, lalu bertanya, "lu suka gak bukunya?"

Semestinya itu pertanyaan biasa saja. Sering juga ia menanyakan hal serupa untuk buku-buku yang sedang saya bawa ke kantor. Tentu, jawab saya kemudian. Datar dan tidak menambahkan alasan. Saya hanya tidak ingin seperti dalam cerita "Aku Selalau Bangun Lebih Pagi" dalam kumpulan cerpen Kukila, di mana si-Aku yang merasa kesal karena setiap pagi ditanyakan "Baru bangun, kan?" oleh pengunjung perpustakaan dan toko bukunya.

Sampai kemudian akhirnya saya tahu maksud pertanyaan Widha itu: ternyata ia (1) tidak suka buku "Kukila" karena terlalu membandingkan dengan cara Aan Mansyur dalam menulis puisi dan prosa. Dan, menurutnya lagi, (2) cerita yang berjudul "Kukila" terlalu panjang untuk ukuran cerita pendek. Singkatnya, membaca "Kukila" membuat Widha kecewa.

Suka dan tidak suka memang relatif. Ukurannya pun subjektif. Semisal, semur jengkol, bagi yang tidak suka yha karena baunya yang memualkan. Pedahal, bagi yang suka, bau jengkol biasa saja. Jengkol memang seperti itu; punya bau yang khas. Begitu juga terhadap buku! 

Namun, untuk kecewa kepada "Kukila" saya rasa Widha keliru. Ada banyak alasan untuk menjelaskannya. Bisa juga didebatkan jika memang dirasa perlu. Toh, era keterbukaan seperti sekarang ini banyak yang telah-sedang-akan didebatkan. Penting atau tidak itu urutan kesekian. Tapi tiba-tiba muncul ide dari Widha: melibatkan orang ketiga sebagai penentu bahwa "Kukila" itu bagus atau tidak.

Mbak Nur, orang ketiga itu. Dengan senang hati (saya lupa, buku siapa yang dipinjam, saya atau Widha?) Mbak Nur membaca "Kukila". Tidak lama. Hanya semalam. Besoknya, Widha dan Mbak Nur satu suara. Iklim demokrasi kita memang sebatas ini, kata saya dalam hati.

***

Permasalahan klasik penulis-penulis prosa dari dulu hingga sekarang, barangkali, adalah tempat di mana prosa itu tumbuh-kembang: surat kabar. Kehadiran rubrik sastra pada surat kabar (red: media cetak) bisa saja dianalogikan seperti tanaman dan benalu. Satu sisi menghidupi, sedangkan sisi lainnya "mematikan cerita" yang pedahal masih panjang umurnya.

Cerita dengan judul "Kukila (Rahasia Pohon Rahasia)", misalnya, itu adalah serangkaian cerpen-cerpen Aan Mansyur yang sudah terbit (baik di surat kabar atau buku antologi) yang kemudian ia satukan. Dikemas ulang. Disusun sedemikian rupa agar supaya alurnya terjaga. Dan hasilnya: sebuah cerita pendek yang panjang.

Hal semacam itu, barangkali, yang ingin Aan Mansyur tawarkan kepada pembaca sastra di Indonesia. Bahwa kita bisa dan masih menerima cerita-cerita pendek yang panjang seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun