Kemudian dua prosa yang ditulis dengan indah: Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala yang ditulis Andi Wi; dan Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir yang ditulis Annisa Malcan. Inilah "gudangnya" orang-orang bisa dengan mudah mengutipnya dan lalu diambil untuk sekadar catatan di sosial media. Keduanya juga ditulis dengan aturan yang barangkali mereka buat sendiri. Tidak terkotakkan sesuatu aturan baku. Ditulis sebagai puisi, bisa; esai apalagi.
Tapi kau jangan sedih hanya karena aku adalah seorang pesimistik yang baik. Jauh di dasar jiwaku, meyakini-yakini diriku sendiri, bahwa, kelak, kau akan kembali.– Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala
Nama kehilangan nama dalam dirinya. Nama terbuang dari kehidupan di tengah gemerlapan dunia yang baru baginya. Ia terlahir kembali sebagai seseorang yang tak pernah terlahir. – Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir
Namun, yang membuat saya menggangu adalah, dari kedua prosa itu, amat kurang konflik yang dihadirkan – walau dengan begitu masih juga bisa dinikmati. Apa yang ditulis Andi Wi, misal, untuk yang hidup di era surat-menyurat barangkali paham maksudnya, tapi bila tidak? Membaca itu seperti cerita temannya yang kadung kangen dengan kekasihnya. Hanya konflik batin yang muncul. Sama seperti yang ditulis Annisa Malcan. Bedanya, mungkin, mengingatkan kita kalau dulu pernah ada kerumitan bagi mereka yang pernah menjadi tapol (tahanan politik). Betapa kartu pengenal menjadi momok yang tidak mereka inginkan!
8/
kita berjalan menyusurinya tanpa tahu
berkali-kali
menjadi ritual
Rindu,aku hanya kenangan
dan bagian-bagian masalalu yang
ingin kuhadiahkan
bagi ingatan pendekmu.
Jika tanganku tak sampai
Jangau risaukan aku dalam mimpimu
Sempurnakanlah doa-doa yang berhamburan
Di atap rumahmu yang sayu
Bagus tidak puisi di atas? Itu dibuat dari tiga bait puisi yang berbeda. Braga Stone 1975 yang ditulis Bandyoko; Kopi dan Tualang Hati yang ditulis Khirsna Pabhicara; dan Perempuan Mandalawangi yang ditulis Ubay Ananta. Setelah membaca ketiga puisi itu seperti ada yang mengganggu, khususnya puisi milik Bandyoko. Entah mengapa, membaca puisi-puisi beliau mengingatkan bentuk puisi di Angkatan 45: kuat akan diksi dan pemenggalan kalimat. Baca saja karya-karya Chairil Anwar, Sitor Situmorang dan Asrul Sani. Bukan sebagai pembanding, hanya saja saat membaca puisinya, kita akan dibawa pada era itu. Hebat. Salam, Paknya Bandyoko!
Sebab kebanyakan puisi yang sebenarnya bagus, tapi ketika dieksekusi (dalah hal ini maksud saya pemenggalan larik) jadi malah terlihat aneh. Nah, ketiga puisi ini paling tidak, bagi saya, adalah contoh puisi yang berhasil dari segala pakem yang ada.
9/
Dalam esai Eka Kurniawan yang berjudul Karakter Datar dan Karakter Bulat, ia menjelaskan kalau mereka (para penulis pemula) berkeyakinan bahwa satu paradigma tertentu harus dipilih, satu jenis “aliran” (“school”) harus diterapkan. Fungsinya sudah tentu supaya penulis menjadi nyaman. Setelah itu, harapannya adalah semoga pembaca ikut terbawa nyaman. Namun, yang jadi persoalan adalah siapa yang bisa menjamin kalau seorang penulis punya pembaca yang seragam?
Pada titik ini, saya jadi ingat obrolan dengan Djenar Maesa Ayu di belakang panggung sebelum Kompasianival 2015. Katanya, sebagai penulis, tidak mungkin bisa memuaskan semua pembaca –sehebat apapun karyanya. Oleh karenanya, puasi dahulu penulisnya sendiri dan sampaikan itu kepada pembaca.