Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah sejak awal 2025 sejatinya lahir dari niat mulia. Visi besar di baliknya jelas: anak-anak Indonesia harus tumbuh sehat, terbebas dari stunting, dan siap menjadi generasi emas di tahun 2045. Di atas kertas, gagasan ini begitu menjanjikan. Siapa yang tidak setuju jika negara hadir untuk memastikan setiap anak berhak atas gizi layak?
Namun, sembilan bulan berjalan, pelaksanaan program ini mulai menuai sorotan. Pada audiensi Komisi IX DPR RI dengan Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), CISDI, JPPI, dan sejumlah pakar pada 22 September 2025, suara kritis pun mengemuka. Salah satu yang paling tajam datang dari dr. Tan Shot Yen, seorang dokter dan ahli gizi yang sudah lama dikenal vokal dalam isu pangan dan kesehatan. Kritiknya bukan sekadar catatan teknis, melainkan peringatan serius agar pemerintah tidak salah arah dalam mengelola program sebesar ini.
Dr. Tan mengungkapkan keterkejutannya ketika mengetahui bahwa menu MBG memasukkan burger dan spageti. Dengan ekspresi penuh heran ia mempertanyakan: apakah benar anak-anak Indonesia harus dikenalkan dengan makanan berbasis tepung terigu, sementara kita tahu gandum tidak tumbuh di negeri ini? Bagi dr. Tan, hal ini bukan hanya soal rasa atau selera, melainkan soal kedaulatan pangan. Jika sejak dini lidah anak-anak Indonesia dibiasakan dengan makanan impor, bukankah itu sama saja menanamkan ketergantungan pada produk yang tidak bisa diproduksi sendiri?
Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa MBG seharusnya memberi ruang luas bagi pangan lokal. Idealnya, 80 persen menu program berbasis pada kekayaan kuliner daerah. Ia bahkan memberi contoh konkret: anak-anak Papua bisa mendapat ikan kuah asam khas mereka, sementara anak-anak Sulawesi berhak menikmati kapurung yang kaya nutrisi. Dengan cara ini, program tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga menghidupkan budaya sekaligus memperkuat ekonomi lokal.
Kritik paling pedas muncul ketika ia membicarakan isi burger yang ditemukan dalam program MBG. Menurutnya, daging olahan yang disajikan berwarna pink mencolok, terasa seperti karton, dan bahkan tidak jelas kandungannya. "Apakah pantas anak-anak kita diberi makanan seperti ini?" tanyanya retoris. Bagi seorang ahli gizi, bahan olahan semacam itu bukan sekadar makanan berkualitas rendah, melainkan ancaman kesehatan jangka panjang. Jika pemerintah sungguh ingin mencegah stunting, jangan sampai digantikan dengan masalah baru: meningkatnya risiko penyakit degeneratif akibat pola makan instan sejak kecil.
Masalah tidak berhenti di situ. Ia juga menyoroti peran Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dianggap "nakal" dalam pelaksanaan. Ada laporan bahwa makanan disajikan dengan standar rendah, bahkan kadang dibuat dalam format DIY---anak-anak dibiarkan merakit sendiri makanannya dari bahan-bahan yang kurang jelas kandungan gizinya. Alih-alih mendidik anak soal pola makan sehat, praktik ini justru memperlihatkan lemahnya pengawasan.
Lebih ironis lagi, dapur MBG disebut kerap menuruti permintaan anak-anak yang menginginkan makanan populer seperti cilok atau jajanan serupa. Bagi dr. Tan, logika ini keliru. Program sebesar MBG tidak boleh berperan sebagai pasar yang sekadar memenuhi permintaan konsumen. Anak-anak bukan pelanggan restoran cepat saji; mereka adalah generasi yang harus dididik lidahnya untuk mencintai makanan sehat. Bila program ini hanya mengejar selera sesaat, ia akan kehilangan esensi: mendidik dan menuntun pola konsumsi anak-anak menuju gizi yang benar.
Di titik inilah kritik dr. Tan menjadi sangat penting. Ia bukan sedang menolak niat baik pemerintah. Ia justru ingin memastikan bahwa niat baik itu tidak salah arah. Program sebesar MBG hanya akan berhasil jika benar-benar berpijak pada pangan lokal, menjamin kualitas bahan, dan menempatkan gizi sebagai tujuan utama---bukan sekadar tampilan menarik atau kepuasan instan.
Kritik ini harus dipandang sebagai alarm kesehatan publik. Jika pemerintah serius ingin meninggalkan warisan berharga bagi generasi emas, maka MBG harus menjadi jalan menuju anak-anak Indonesia yang sehat, kuat, dan mandiri. Jangan sampai program bergizi gratis justru berubah menjadi program makanan cepat saji gratis.
Karena itu, pemerintah perlu membuka telinga, mendengar kritik, dan berani melakukan koreksi. Anak-anak kita tidak butuh burger murah dengan daging olahan berwarna pink. Mereka butuh ikan segar, sayur dari ladang, umbi dari tanah, jagung dari sawah, dan nasi dari petani negeri sendiri.