Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Perlawanan Gen Z Nepal melalui Kacamata Antropologi

12 September 2025   08:15 Diperbarui: 12 September 2025   08:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 8 September 2025, jalan-jalan Kathmandu dipenuhi wajah-wajah muda yang bersatu dalam teriakan perubahan. Generasi Z Nepal, dengan bendera, spanduk, dan suara lantang, turun ke jalan bukan sekadar untuk memprotes larangan media sosial, melainkan untuk menggugat sebuah sistem yang mereka nilai telah gagal menghadirkan masa depan. Apa yang tampak sebagai kericuhan spontan di ibu kota sesungguhnya adalah potret transformasi sosial yang tengah berlangsung termasuk pergeseran nilai, identitas, dan kekuasaan dalam masyarakat Nepal.

Dari Media Sosial ke Medan Sosial

Pemerintah Nepal sejak 4 September 2025 memblokir lebih dari 20 platform media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, X, dan lainnya. Kebijakan itu, yang dimaksudkan sebagai kontrol informasi, justru menjadi katalis lahirnya protes besar-besaran. Bagi Gen Z, media sosial bukan sekadar hiburan, melainkan ruang komunikasi vital untuk pekerja migran yang mencari nafkah di luar negeri, bagi pelaku bisnis kecil, hingga bagi komunitas muda yang mencari identitas.

Larangan itu dibaca sebagai serangan terhadap kebebasan berekspresi sekaligus pemutusan akses ekonomi. Maka, protes pun meluas, berujung bentrokan keras dengan aparat. Gas air mata, peluru karet, bahkan peluru tajam digunakan. Laporan menyebut 19 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Dalam hitungan hari, tuntutan bergeser dari "kembalikan media sosial" menjadi "hapus korupsi, hentikan kesenjangan, hadirkan oposisi yang kredibel."

Perlawanan dan Pergeseran Nilai Sosial

Dari perspektif budaya, aksi ini mencerminkan benturan generasi. Gen Z Nepal tidak lagi tunduk pada struktur kekuasaan lama yang berbasis patronase, korupsi, dan elitisme. Mereka tumbuh dengan nilai-nilai global, transparansi, kebebasan, partisipasi, yang diperoleh lewat konektivitas digital.

Di sini kita menyaksikan perubahan paradigma legitimasi politik melalui pemerintah yang gagal menyediakan kesejahteraan dan integritas moral kehilangan otoritas di mata generasi muda. Protes menjadi ritual baru, sebuah "upacara sosial" yang menandai lahirnya identitas kolektif. Anak muda tak sekadar menuntut, mereka sedang membentuk makna baru tentang menjadi warga negara Nepal di abad ke-21.

Larangan media sosial menyentuh inti identitas Gen Z. Kehidupan digital adalah ruang otonomi, tempat mereka bekerja, berkarya, menjalin relasi, bahkan bermimpi. Ketika ruang itu ditutup, yang muncul bukan hanya keresahan, tetapi juga kemarahan eksistensial.

Kemarahan atas pemerintahan itu mulai muncul melalui salah satu symbol perlawanan anak muda Nepal, yakni sosok Afiska Raut, seorang siswa SMA yang pidatonya viral. Dalam video lama yang kembali mencuat, Afiska menuding langsung pada korupsi, pengangguran, dan penderitaan anak muda yang dipaksa merantau. Dengan suara bergetar namun tegas, ia menyerukan generasi muda harus bangkit, bukan sekadar sebagai korban, melainkan sebagai motor perubahan. Kata-katanya bukan sekadar kritik, melainkan terapi kolektif yang membakar semangat, menyalakan harapan.

Psikologi massa Gen Z Nepal menemukan katalis yakni dari frustrasi menjadi motivasi, dari kecemasan menjadi solidaritas.

Jejak Global: Demokrasi Digital dan Revolusi Sunyi

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Dari Hong Kong, Chile, hingga Indonesia, Gen Z tampil sebagai aktor baru dalam politik jalanan maupun digital. Pola yang sama terlihat dimana pemerintah mencoba mengontrol media digital, generasi muda merespons dengan mobilisasi lintas ruang.

Nepal kini menjadi contoh paling segar bagaimana demokrasi digital bertransformasi menjadi gerakan nyata. Dengan tubuh di jalan dan pikiran di jaringan, Gen Z menegaskan bahwa politik abad ini tidak bisa lagi dilepaskan dari ruang digital.

Demo besar-besaran di Kathmandu menandai babak baru. Ia membuka perdebatan tentang legitimasi kekuasaan, hak digital, dan masa depan partisipasi politik di negara berkembang. Lebih jauh, ia menunjukkan bagaimana antropologi perlawanan, psikologi generasi, dan tren global bersinggungan dalam satu momentum.

Generasi Z Nepal telah memberi pesan yang nyaring dimana mereka tidak ingin lagi menjadi penonton dari masa depan yang dirampas. Dengan nyawa yang dipertaruhkan, mereka menegaskan identitas mereka sebagai subjek sejarah. Dan mungkin, dari jalanan Kathmandu inilah, sebuah Nepal baru sedang dilahirkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun