Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kawin Tangkap di Sumba NTT, Antara Romantika Tradisi dan Luka Perempuan

26 Agustus 2025   09:37 Diperbarui: 27 Agustus 2025   07:11 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kawin tangkap | BBC/Davies Surya

Di tanah Sumba yang kaya akan kuda sandelwood, tenun ikat, dan ritual Marapu, tersimpan sebuah tradisi yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan yakni kawin tangkap.

Bagi sebagian orang, kawin tangkap dipandang sebagai warisan leluhur, sebuah simbol keberanian laki-laki, sebuah jalan menuju pernikahan adat yang sakral. Namun, bagi yang lain, praktik ini kini lebih sering meninggalkan luka daripada makna; lebih dekat dengan kekerasan daripada kehormatan.

Jejak Historis: Dari Perjodohan ke Pemaksaan

Pada masa lalu, kawin tangkap bukanlah sekadar "penangkapan." Ia merupakan bagian dari prosesi perjodohan yang sarat simbolisme. Perempuan yang "ditangkap" umumnya sudah dikenalkan, bahkan kadang sudah sepakat, sementara keluarga besar kedua belah pihak telah duduk bermusyawarah. Prosesi adat mengiringinya: pakaian tradisional dikenakan, kuda dan parang diberikan sebagai tanda penghormatan, serta ritual adat menjadi penegas bahwa sebuah ikatan baru telah terbentuk.

Namun, zaman bergeser. Di balik nama besar tradisi, praktik kawin tangkap kini kerap dilakukan tanpa persetujuan perempuan maupun keluarganya. Ada unsur paksaan, bahkan kekerasan. Perempuan yang menjadi korban bukan lagi subjek yang dihormati, melainkan objek yang diambil paksa.

Antara Warisan dan Kekerasan

Bagi sebagian masyarakat pedalaman Sumba, kawin tangkap masih dianggap sebagai tradisi turun-temurun yang sulit dilepaskan. Ia diyakini sebagai simbol jati diri budaya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sisi gelapnya seperti trauma, luka fisik, dan keterenggutan kebebasan perempuan memilih jalan hidupnya sendiri.

Banyak tokoh adat Sumba sendiri menegaskan bahwa kawin tangkap dalam bentuk pemaksaan bukanlah tradisi asli. Dalam adat Marapu, pernikahan harus berangkat dari kesepakatan dan penghormatan antar keluarga. Pemaksaan justru dianggap penyimpangan dan dapat dikenakan sanksi adat.

Di sisi lain, pemerintah daerah, DPRD NTT, hingga aktivis perempuan bersuara lantang: kawin tangkap dalam bentuk kekerasan adalah pelanggaran hukum, bentuk kekerasan berbasis gender, bahkan kejahatan kemanusiaan.

Luka Sosial dan Filosofi Kebebasan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun