Kasus rabies kembali menjadi sorotan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hingga Juli 2025, tercatat 10.605 kasus gigitan hewan penular rabies seperti anjing, kucing, dan kera. Dari angka tersebut, 16 orang dilaporkan meninggal dunia. Angka ini bukan hanya statistik, melainkan cerminan dari bahaya nyata rabies yang masih mengancam kesehatan masyarakat di daerah ini.
Menyadari dampak serius rabies, Gubernur NTT, Melki Laka Lena, mengeluarkan Instruksi Gubernur NTT Nomor: 01/disnak/2025 tertanggal 4 Agustus 2025. Instruksi ini menekankan langkah cepat yang harus dilakukan pemerintah daerah di seluruh NTT, di antaranya pembatasan pergerakan hewan penular rabies (HPR). Mulai 1 September hingga 1 November 2025, anjing, kucing, dan kera tidak boleh dilepasliarkan di luar rumah atau pagar. Tujuannya jelas: memutus rantai penularan virus rabies.
Selain itu, instruksi ini juga menekankan pentingnya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang rabies kepada masyarakat. KIE menjadi salah satu strategi paling efektif dalam upaya pencegahan dan pengendalian rabies. Melalui kegiatan ini, masyarakat diedukasi mengenai bahaya rabies, cara penularannya, tanda-tanda hewan yang terinfeksi, serta langkah tepat yang harus dilakukan jika tergigit hewan penular rabies.
Rabies sendiri adalah penyakit infeksi akut yang menyerang sistem saraf pusat, disebabkan oleh virus Lyssavirus. Penyakit ini hampir selalu berujung fatal setelah gejala klinis muncul. Virus rabies ditularkan melalui air liur hewan yang terinfeksi, biasanya lewat gigitan, cakaran, atau jilatan pada luka terbuka. Anjing merupakan penyebab utama penularan, meski kucing, kelelawar, dan kera juga bisa menjadi pembawa virus.
Gejala rabies pada manusia bermula dari demam, sakit kepala, hingga berlanjut pada gejala neurologis berat seperti kejang, kesulitan menelan, halusinasi, hingga koma. Karena sifatnya yang mematikan, rabies disebut sebagai salah satu penyakit zoonotik paling berbahaya di dunia.
Hingga kini, belum ada pengobatan yang bisa menyembuhkan rabies setelah gejala klinis muncul. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa adalah dengan melakukan penanganan cepat pasca-gigitan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencuci luka gigitan dengan sabun dan air mengalir selama 10-15 menit, lalu mengoleskan antiseptik. Setelah itu, penderita harus segera ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi rabies dan imunoglobulin antirabies.
Pencegahan tetap menjadi kunci utama. Hewan peliharaan seperti anjing dan kucing wajib mendapatkan vaksinasi rabies secara rutin. Masyarakat juga perlu menghindari kontak dengan hewan liar atau hewan yang menunjukkan gejala rabies seperti agresi berlebihan, air liur berlebihan, atau kelumpuhan. Untuk kelompok berisiko tinggi seperti dokter hewan, petugas laboratorium, dan masyarakat di daerah endemis, vaksinasi pra-pajanan juga dapat diberikan.
Upaya edukasi melalui KIE terbukti efektif di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, kegiatan sosialisasi dengan media poster, leaflet, diskusi masyarakat, hingga edukasi di sekolah mampu meningkatkan kesadaran warga untuk membawa hewan peliharaan mereka vaksinasi. Keterlibatan masyarakat dalam pelaporan kasus gigitan dan pelaksanaan vaksinasi massal juga mempercepat upaya pengendalian rabies.
Di NTT, langkah pembatasan pergerakan hewan yang dikeluarkan Gubernur diharapkan menjadi momentum untuk menekan angka kasus rabies. Namun, kebijakan ini tidak akan berjalan efektif tanpa partisipasi aktif masyarakat. Disiplin menjaga hewan peliharaan, waspada terhadap hewan liar, dan segera mencari pertolongan medis jika tergigit hewan penular rabies adalah kunci keselamatan.
Rabies bukan hanya persoalan kesehatan hewan, tetapi juga persoalan keselamatan manusia. Setiap gigitan yang diabaikan berpotensi menjadi ancaman nyawa. Karena itu, kesadaran, kepedulian, dan aksi nyata seluruh lapisan masyarakat adalah senjata paling ampuh untuk mewujudkan NTT bebas rabies di masa depan.