Saya membayangkan di suatu senja ketika seorang ibu muda dari pedalaman Nusa Tenggara Timur duduk di bawah pohon asam, membuka ponselnya yang sudah retak, lalu bertanya pada sebuah chatbot: "Anak saya demam sejak kemarin, harus dibawa ke mana?"
Mungkin ini hanya sebuah adegan fiksi. Namun bisa saja ke depannya akan semakin sering terjadi. Kita hidup di zaman ketika kecanggihan bukan lagi milik rumah sakit besar, tetapi juga hadir di telapak tangan mereka yang hidup jauh dari pusat layanan kesehatan. Dan semua itu dimungkinkan oleh satu hal: Artificial Intelligence (AI).
AI tidak datang seperti dokter dengan jas putih atau perawat yang mengetuk pintu rumah. Ia hadir lewat notifikasi kecil di layar, pesan pendek yang ramah, atau suara digital yang menjawab tanpa letih. Tapi jangan salah. Dampaknya nyata.
Kini, promosi kesehatan bukan hanya milik papan pengumuman di Puskesmas. Ia hidup di media sosial, di chatbot berbasis WhatsApp, bahkan dalam aplikasi yang mampu menyesuaikan pesan edukatif sesuai usia, gender, hingga preferensi bahasa pengguna.
AI dalam promosi kesehatan sejatinya sedang melakukan apa yang sudah lama kita impikan: menyentuh masyarakat satu per satu.
Dulu, kampanye kesehatan bersifat general. Kita pasang spanduk bertuliskan "Ayo Imunisasi!" atau "Cegah Stunting dengan Gizi Seimbang," lalu berharap semua yang lewat membaca dan paham. Tapi AI bekerja secara sebaliknya, ia mendengarkan dulu, lalu bicara.
Ia tahu siapa audiensnya. Ia tahu apakah pengguna butuh informasi tentang anemia remaja atau edukasi gizi balita. Dan ketika teknologi ini digunakan dengan benar, ia bisa memperbaiki sesuatu yang selama ini jadi tantangan besar dalam promosi kesehatan: relevansi pesan.
Tentu, personalisasi bukan hal baru. Tapi AI membuatnya skalabel. Kita tidak perlu lagi satu kader untuk satu rumah tangga. Kita bisa punya satu sistem yang bicara kepada ribuan orang dengan bahasa dan nada yang mereka pahami.
Apa yang membuat teknologi ini begitu kuat? Jawabannya adalah kemampuan untuk menciptakan komunikasi dua arah.
Chatbot, misalnya, tidak hanya memberi tahu, tapi juga menanyakan kembali: "Apa gejalanya?" atau "Sudah berapa lama?" Ini bukan hanya soal akurasi, tapi soal pendekatan yang menghargai pengalaman pengguna. Dalam interaksi itu, seseorang merasa didengarkan, sekalipun oleh mesin.