Menggerakkan perubahan dalam masyarakat bukanlah perkara mudah, terutama di bidang kesehatan. Kita sering menyaksikan program-program yang dijalankan dengan penuh semangat, namun berakhir tanpa dampak yang bertahan lama. Bukan karena masyarakat tidak peduli, atau pelaksananya kurang serius. Sering kali, yang hilang adalah kerangka berpikir strategis yang mampu menyambungkan antara niat baik dan aksi yang efektif. Di sinilah The Strategy Pyramid yakni sebuah model strategi bertahap, menawarkan pendekatan yang relevan dan aplikatif.
Model piramida ini dibagi menjadi tiga lapisan utama: Purpose (Tujuan), Strategy (Strategi), dan Execution (Pelaksanaan). Masing-masing lapisan memiliki peran penting dalam memastikan program berjalan dari dasar yang kuat hingga pelaksanaan yang konkret dan terukur.
Segalanya dimulai dari bagian paling atas: Purpose. Inilah tempat kita mendefinisikan alasan utama program itu ada. Misalnya, dalam konteks program kesehatan masyarakat, sebuah tim fasilitator menetapkan misi mereka: meningkatkan kesehatan anak-anak melalui edukasi gizi berbasis keluarga. Misi ini menjadi akar dari semua aktivitas yang mereka rancang dan jalankan.
Dari misi, mereka merumuskan nilai-nilai inti yang ingin dipegang sepanjang pelaksanaan, seperti keadilan, pemberdayaan lokal, dan keterlibatan lintas generasi. Nilai-nilai ini bukan sekadar kata-kata, melainkan prinsip yang menuntun cara mereka berkomunikasi, mendesain materi edukasi, dan bekerja dengan kader lokal. Visi mereka pun ditegaskan: menciptakan komunitas yang mandiri dalam menjaga kesehatan anak sejak seribu hari pertama kehidupan.
Setelah tujuan utama dan prinsip ditetapkan, langkah berikutnya adalah menyusun strategi. Mereka memetakan Strategic Intent, yaitu tujuan jangka panjang yang konkret: menurunkan angka stunting di wilayah tersebut dalam waktu lima tahun. Untuk mencapainya, mereka mengidentifikasi drivers atau penggerak utama, misalnya: kapasitas kader Posyandu, kesadaran ibu terhadap pentingnya MP-ASI, serta kemudahan akses terhadap bahan pangan lokal bergizi.
Namun, niat saja tidak cukup. Mereka kemudian mencari tahu apa yang dapat menjadi enablers---faktor-faktor pendukung yang membuat strategi bisa dijalankan. Di sinilah mereka mulai membangun sistem pelatihan yang lebih interaktif, menyusun modul edukasi sederhana berbasis cerita rakyat, dan menjalin kemitraan dengan tenaga kesehatan setempat. Mereka juga menyediakan alat-alat bantu seperti poster tumbuh kembang, kotak menu MP-ASI harian, serta aplikasi sederhana untuk mencatat berat badan balita.
Masuk ke tahap Execution, mereka menyusun langkah-langkah nyata berdasarkan strategi yang telah dirancang. Salah satunya adalah membentuk kelompok belajar ibu muda yang bertemu dua kali sebulan, dipandu oleh kader yang telah dilatih secara intensif. Mereka juga menggelar kelas dapur gizi di balai desa, mengundang ibu-ibu untuk bersama-sama belajar memasak menu bergizi dari bahan pangan lokal.
Tentu saja, keberhasilan tidak hanya dilihat dari banyaknya kegiatan, tapi dari bagaimana kegiatan tersebut memberi dampak nyata. Maka mereka menetapkan indikator kinerja seperti jumlah ibu yang rutin menghadiri kelas, peningkatan berat badan balita dalam tiga bulan, dan persentase ibu yang berhasil mempraktikkan pola MP-ASI yang benar di rumah.
Semua ini mereka visualisasikan dalam satu strategy map---sebuah peta yang menghubungkan antara visi, strategi, dan langkah pelaksanaan. Peta ini tidak hanya menjadi alat pemantau, tetapi juga alat komunikasi dengan berbagai pihak: kepala dusun, tenaga kesehatan, hingga mitra pendukung.