Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Health Promoter

Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Lunar, Ibunda, dan Si Pengeluh di Bumi

9 Desember 2019   07:28 Diperbarui: 9 Desember 2019   07:31 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: favpng.com

Beberapa malam ini langit terlihat sangat gelap. Tak ada cahaya yang membantu aktivitas para penduduk Bumi. Di samping itu, Lunar, si gadis cilik yang selalu riang hanya bisa tertidur lesu di atas tempat tidurnya. Mulut yang pahit sama sekali tak mau menerima makanan yang hendak menguatkan tubuh.

"Ayo makan nak, kamu harus lekas sembuh karena banyak orang yang sedang menunggu senyummu." Ajakan sang ayah hanya dibalas dengan gelengan kepala dari Lunar.

Tubuh yang makin kurus dan wajah yang pucat menandakan bahwa Lunar sedang sakit parah. Tak ada seorangpun yang tahu penyebab penyakitnya.

"Aku tak mau lagi keluar dari rumah." Begitulah kalimat terakhir yang terdengar dari mulutnya pada malam sebelum ia menutup mulutnya.

Banyak orang mengakatakan bahwa ia sedang lelah karena sudah terlalu lama bermain di atas langit malam. Adapula yang mengatakan bahwa ia tak ingin lagi memberi senyum karena banyak orang yang memanfaatkannya sebagai senjata kejahatan.

Setiap hari banyak penduduk datang dan menyemangati Lunar. Semuanya merasa khawatir karena tanpa Lunar, banyak hal yang akan menjadi kacau di Bumi.

 "Nak, apa yang bisa ayah lakukan untukmu? Tolong katakan sesuatu." Entah sudah berapa ratus kali tanya itu terucap dari ayahnya pada sang putri dan hanya dibalas dengan diam.

***

Suatu pagi saat Lunar membuka mata, akhirnya ia tersenyum untuk pertama kalinya. Alasan senyumnya adalah tangan hangat yang sedang mengusap kepalanya. Sang ayah cukup tahu bahwa Lunar hanya membutuhkan sang ibu.

"Ibu, aku lelah." Keluh Lunar untuk pertama kali sejak ia memutuskan untuk diam.

"Ia Lunar, ibu tahu." Senyum hangat dari sang ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun