Tidak sedikit jemaat yang terjebak dengan strategi iblis ini. Iblis membisikkan kepada kita katanya kalau kamu mau melayani Tuhan boleh saja tetapi ingat juga keluargamu. Keluargamu sangat membutuhkanmu, dengan bisikan ini pada akhirnya dalam pelayanannya kita menjadi setengah hati. Ketika berada diatas mimbar hati dan pikirannya sepenuhnya tidak tertuju pada Tuhan, tetapi pikiran kita masih teringat kepada pintu rumah yang belum terkunci atau kompor yang belum dimatikan, sehingga pelayan kita gagal. Tetapi bagi orang yang sepenuhnya berserah pada Tuhan, mereka mengabaikannya, sehingga strategi iblis kali ini gagal lagi.
Setelah strategi kedua gagal, iblis tidak berhenti disitu. Iblis masih cari celah lain untuk menjatuhkan manusia. Ini strategi ketiga yang kelihatannya cukup menarik yaitu berhubungan dengan kasih yang wajar. Kata Firaun "Biarlah orang laki-laki pergi beribadah, tetapi orang perempuan dan anak-anak tidak perlu menyertai mereka." Tentu saja saran Firaun ini sangat wajar dan masuk akal, namun sesungguhnya sangat menyakiti hati Tuhan, karena Tuhan merindukan setiap orang memperoleh berkat dan layak untuk diselamatkan. Jika kita tahu strategi iblis ini dan kita tidak terjebak dan tidak mengikuti sarannya, maka iblis jelas gagal lagi.
Seperti halnya ketika iblis mencobai Yesus, kali ini Musa juga dicobai dalam hal sama. Usahanya yang terakhir ini adalah memanfaatkan keserakahan dan kecintaan mereka terhadap harta benda: Kata Firaun kepada Musa "Pergilah, kalau memang harus pergi, tetapi ternakmu harus kamu tinggalkan di Mesir sementara kamu beribadah." "Jangan membiarkan keyakinan agamamu yang wajar bertentangan dengan dunia usaha dan kegiatanmu."
Karena Musa adalah kepercayaan Tuhan, maka otomatis Musa penuh dengan hikmat Tuhan. Dengan pengertian rohani yang jelas Musa dapat memahami setiap saran yang kedengarannya benar itu, dan jawabnya jelas, tegas dan menentukan: "Dan satu kaki pun tidak akan tinggal" (Kel 8:25; 10:11,24,26). Demikianlah dengan cemerlang Musa telah lulus ujian besar yang pertama atas sifatnya sebagai seorang pemimpin.
Musa Tidak Terjebak Oleh Ambisi
Selain lolos dari jebakan-jebakan tersebut diatas, ternyata Musa juga lolos dari jebakan ambisi. Seperti diketahui kendala terbesar dalam sebuah keberhasilan adalah ambisi. Sebenarnya ambisi tidak salah, sebab untuk mencapai sebuah tujuan atau cita-cita seseorang perlu ambisi. Tetapi seringkali ambisi tersebut ditunggangi oleh kepentingan pribadi, sehingga dalam mencapai tujuan seringkali kita menggunakan cara yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Ambisi yang dimiliki oleh Anies Baswedan waktu itu tidak salah. Kesalahannya dalam mencapai ambisi tersebut Anies menggunakan cara-cara yang intinya menguntungkan kelompok sendiri atau memintangkan diri sendiri, sehingga mengabaikan orang lain yang tidak sepaham atau yang berseberangan, akibatnya tidak saja menimbulkan kerugian masyarakat luas tetapi juga menimbulkan kerugian Negara pada umumnya. Â
Sama seperti semua pemimpin besar, Musa disaring oleh ujian ambisi. Pada waktu ia tidak berada di antara mereka dan tinggal di gunung Sinai seorang diri dengan Allah, maka bangsa Israel menyembah berhala, sehingga murka Tuhan menyala-nyala. "Oleh sebab itu, biarkan Aku sendiri," demikian firmanNya kepada Musa, "Aku akan memukul mereka dengan penyakit sampar dan melenyapkan mereka, tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang lebih besar" (Bil 14:12). Keluhan dan ketidakpercayaan bangsa Israel telah menjadi satu beban bagi Musa, dan ia tentunya dapat dimaafkan, seandainya di dalam saran Allah ini beban-bebannya diangkat dan ia melihat suatu kesempatan baik untuk memajukan diri sendiri.
Oleh karena Allahlah yang memprakarsai usul itu, maka ujian itu sifatnya lebih menyelidiki. Belum pernah sifat Musa yang tidak mementingkan diri sendiri dan keagungan sifatnya kelihatan dengan lebih jelas daripada dalam reaksinya terhadap pesan Allah. Perhatiannya semata-mata hanyalah untuk kemuliaan Allah dan kesejahteraan bangsanya. Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirannya untuk membesarkan dirinya sendiri. Ia berpegang pada Allah dengan berani dan gigih; dan melalui doa syafaatnya, maka penghukuman terhadap bangsa yang menyeleweng dapat dicegah.
"Bagaimana ia menghadapi keadaan yang mustahil?" Menurut John R.Mott pertanyaan ini merupakan salah satu ujian bagi seorang yang berkaliber pemimpin. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mendorong para pemimpin agar menghadapi tugas yang mustahil daripada hanya melakukan pekerjaan yang ringan, oleh karena tugas seperti itu akan membangkitkan kekuatan mereka dan mengajar mereka untuk bergantung pada orang lain, dan mendorong mereka datang kepada Allah. Seorang pemimpin yang sejati paling baik jika dalam keadaan membingungkan.
Tidaklah berlebih-lebihan untuk menyatakan, bahwa belum pernah dalam sejarah umat manusia, para pemimpin dihadapkan dengan kosentrasi krisis yang tidak dapat dipecahkan seperti sekarang ini. Akibatnya, jika mereka ingin tetap hidup, mereka harus dapat hidup di atas kesulitan-kesulitan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang rutin saja.