Mohon tunggu...
Harold Manihuruk
Harold Manihuruk Mohon Tunggu... Lainnya - 20 Tahun | Mahasiswa Bioteknologi

Mahasiswa Aktif Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Filariasis Mengintai Sumatera Utara

15 Juli 2020   16:39 Diperbarui: 15 Juli 2020   16:46 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Filariasis merupakan salah satu penyakit yang menjadi penyebab kecacatan permanen dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (Masrizal, 2013). Kasus filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta dengan kasus penderita filariasis skrotum (Arsin, 2016). 

Pada umumnya penderita filariasis mendapat penolakan di tengah masyarakat (Sitepu, Veronica, dan Novziransyah, 2019) dengan pengasingan penderita. Selain itu, tidak sedikit dari banyak perusahaan yang menolak perempuan dan laki-laki yang cacat akibat penyakit tersebut.

Indonesia adalah salah satu negara yang hampir seluruh wilayahnya merupakan daerah yang lazim ditemukan (endemis) filariasis, terutama wilayah Indonesia bagian timur. Pada hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survei kelaziman filariasis, sampai pada tahun 2009, tercatat ada 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non-endemis (Masrizal, 2013).

Adapun siklus dan penyebaran penyakit filariasis pada saat mikrofilaria berselubung (yang berada dalam tubuh penderita filariasis) akan memasuki tubuh nyamuk ketika nyamuk tersebut mengigit penderita filaria. Mikrofilaria ini akan melepaskan selubung tubuhnya dan bergerak menembus perut tengah dan menuju otot dada nyamuk. 

Pada tahapan ini, larva mikrofilaria ini memasuki larva stadium I (L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi larva stadium III (L3), perkembangan larva ini membutuhkan waktu 12--14 hari. L3 kemudian berpindah menuju mulut nyamuk (probosis) sehingga menjadi nyamuk infektif. Ketika nyamuk infektif menggigit manusia, dari tahapan ini terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut (Arsin, 2016).

Orang yang terinfeksi tersebut akan memasuki periode laten yang merupakan masa yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan infeksi sampai ditemukannya mikrofilaria di dalam darah (Masrizal, 2013). 

Mikrofilaria yang sudah memasuki tubuh akan bergerak menuju pembuluh limfe serta berkembang menjadi cacing dewasa dan bertambah banyak sehingga menghasilkan mikrofilaria baru. Kumpulan cacing filaria dewasa ini akan menjadi penyebab penyumbatan pada pembuluh limfe (Arsin, 2016). Dapat disimpulkan, siklus dan rantai penularan serta penyebaran penyakit filariasis ini terdapat tiga unsur, yaitu:

a. Hospes/Hospes reservoir

Manusia atau hospes reservoir menjadi sumber penularan. Pada umumnya, laki-laki lebih mungkin untuk terkena infeksi. Hal ini dikarenakan lebih banyak peluang terinfeksi (exposure), akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga untuk perempuan (Masrizal, 2013). Selain manusia, terdapat beberapa hewan yang dapat terinfeksi, di antaranya adalah anjing, kucing, dan monyet (Khairiyah, 2016). Hewan yang dapat terinfeksi ini juga memungkinkan untuk menjadi hospes reservoir.

b. Vektor

Banyak spesies nyamuk yang dapat menjadi vektor filariasis tergantung pada jenis cacing filarianya (Masrizal, 2013). Di Indonesia, dikenal 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang merupakan vektor filariasis (Arsin, 2016).

c. Agent

Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu: W. bancrofti; B. malayi; B. timori; Loa loa; Onchocerca volvulus; Acanthocheilonema perstants; dan Mansonella azzardi Namun, yang menjadi penting untuk diperhatikan hanya ada tiga spesies, yaitu: W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori (Masrizal, 2013). Filariasis dapat menimbulkan gejala klinis akut berupa demam berulang dan  peradangan pada saluran kelenjar getah bening.

Di Sumatera Utara, terjadi peningkatan kasus filariasis yang ditemukan sejak tahun 2014. Hal ini sangat disayangkan, karena pada tahun 2013 yang lalu tercatat terjadi penurunan kasus filariasis dan bahkan tidak ada kasus baru yang muncul pada masa itu (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2014). 

Kemudian, kasus ini meningkat pada tahun 2014 dengan 19 kasus baru tercatat dan total kasus 139 kasus, kenaikan kasus masih terjadi pada tahun 2015 dengan 44 kasus baru tercatat dan total kasus sebanyak 154 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2016). Pada tahun 2016 terjadi penurunan jumlah kasus baru yang tercatat yaitu sebanyak 30 kasus baru dan total kasus sebanyak 148 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2017). 

Tahun berikutnya terjadi penurunan kasus baru yang tercatat yaitu sebanyak 18 kasus baru dengan total kasus sebanyak 152 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2018). Yang terakhir, pada data terakhir tahun 2018, tercatat total kasus sebanyak 207 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2019).

Berdasarkan karakteristik penyakitnya, di daerah Sumatera Utara, ditemukan bahwa penyumbatan limfe hanya sampai ekstremitas  inferior bagian dista sehingga limfedema hanya terbatas pada bagian tungkai bawah dan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian filariasis paling banyak disebabkan oleh Brugia malayi  (Sitepu, dkk., 2019). 

Peningkatan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kegiatan masyarakat, kepadatan vektor, suhu, dan kelembapan yang dapat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Amelia (dalam Sitepu, dkk, 2019) yang menunjukkan responden yang memiliki lingkungan yang menjadi perindukan nyamuk memiliki risiko 8,556 kali menderita filariasis.

Selain lingkungan, faktor kepadatan vektor diketahui juga dapat meningkatkan risiko filariasis. Spesies vektor nyamuk yang bersifat musiman dengan puncak kepadatan pada musim panas yang terdapat pada negara tropis, spesies vektor nyamuk ini dapat aktif sepanjang tahun. Hal ini dikarenakan suhu dan kelembapan menjadi salah satu faktor vektor nyamuk untuk berkembang biak dan bertahan hidup (Arsin, 2016).

Pada kelompok umur, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Rahmadani Sitepu, dkk. (2019), diketahui bahwa kelompok umur dewasa lebih banyak didapati penderita filariasis dibandingkan kelompok umur anak-anak. 

Penderita filariasis juga lebih banyak ditemukan pada pria yaitu sebesar 64.2% dibandingkan wanita sebesar 35.8%. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan aktivitas yang terdapat pada kelompok umur dan jenis kelamin.

Faktor risiko yang juga dapat meningkatkan penularan filariasis adalah faktor sosio-ekonomi seperti kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, organisasi sosial dan politik, pendidikan, dan status ekonomi (Masrizal, 2013). 

Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Juriastuti, dkk. (dalam Sitepu, dkk., 2019) yang menunjukkan responden dengan keberadaan barang-barang bergantung seperti : handuk, pakaian bekas pakai dan barang lain yang dapat menjadi tempat nyamuk untuk hinggap yang berada di ruangan, terutama di dalam kamar tidur akan beresiko 6.3 kali lebih besar menjadi penderita filariasis.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah melaksanakan beberapa strategi pengendalian dengan dua pilar kegiatan:

          1. Pengobatan massal kepada semua penduduk di kabupaten endemis filariasis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg BB dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg sekali setahun selama 5 tahun guna memutuskan rantai penularan.

         2. Tatalaksana kasus klinis filariasis guna mencegah dan mengurangi kecacatan.

Tatalaksana program pengendalian dilakukan pada semua penderita dengan tujuan untuk mencegah dan mengurangi kecacatan penderita serta              menjadikan penderita mandiri dalam merawat diri. 

Setiap penderita kemudian akan dibuatkan status rekam medis dan mendapatkan kunjungan dari petugas kesehatan minimal tiga kali dalam setahun (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2018). Program ini sudah berjalan sejak tahun 2014 hingga 2017, namun tidak membuahkan hasil sesuai dengan tujuannya, terutama dalam mencegah dan mengurangi kecacatan.

Pada tahun 2018, strategi pengendalian ini digantikan dengan pengendalian vektor terpadu yang berpusat pada penyakit yang ditularkan melalui vektor dan binatang pembawa penyakit seperti malaria, demam berdarah dengue, filariasis, dan leptospirosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Beberapa metode pengendalian vektor terpadu yang dapat dilakukan di antaranya adalah :

  • Metode pengendalian fisik dan mekanis, misalnya pemasangan perangkap dengan bahan yang bersifat penarik (attractant) untuk pengendalian kecoak, raket listrik, dan penggunaan kawat kasa;
  • Metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik (biologi), misalnya predator pemakan jentik (ikan, dll), bakteri, dan manipulasi gen (penggunaan jantan mandul, dll;)
  • Pengelolaan lingkungan meliputi modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan, pemberantasan sarang nyamuk, dan pemasangan kelambu;
  • Metode pengendalian secara kimia, misalnya surface spray (IRS) dan space spray (fogging) (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2019).

Strategi pengendalian ini sudah sangat baik, akan tetapi berdasarkan data yang didapatkan menunjukkan bahwa pada pelaksanaannya program strategi pengendalian ini dapat disimpulkan tidak efektif dilakukan terutama pada program strategi pengendalian pada tahun 2014 hingga 2017. 

Program yang berkesinambungan seperti program pengendalian vektor terpadu patut diharapkan dapat membawa perubahan, setidaknya penekanan kasus baru yang tercatat pada Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019. Selain itu, pengamat epidemiologi pada tingkat puskesmas harus diperkuat dengan tidak hanya sebatas rekam medis, akan tetapi juga pendataan jentik nyamuk dan pengamatan daerah berisiko.

Sosialisasi secara intensif pada masyarakat terutama pada bagian yang berisiko perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan adanya laporan Munawwaroh (dalam Sitepu, dkk., 2019) yang menyatakan bahwa beberapa penderita filariasis di daerah Tapanuli Utara memiliki kebiasaan seperti sering keluar malam, masih sedikitnya penggunaan kelambu saat tidur, dan kurangnya penggunaan obat anti nyamuk pada masyarakat serta kebiasaan di masyarakat yang menggantung pakaian di dalam kamar tidur. 

Oleh karena itu, perlu dirasakan adanya sosialisasi intensif pada masyarakat mengenai hidup sehat yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membiasakan diri hidup lebih baik. Oleh karena itu, tidak hanya peran dan program pengendalian dari pemerintah provinsi Sumatera Utara, Dinas Kesehatan Sumatera Utara, namun juga peran dari masyrakat Sumatera Utara yang diharapkan dapat bekerja sama untuk memutus rantai filariasis dan menciptakan daerah Sumatera Utara yang bebas filariasis.

Referensi :

Arsin, A. A. (2016). Epidemiologi Filariasis di Indonesia. Makassar: Masagena Press.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2014. Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2016. Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2015. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2017. Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2016. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2018. Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2017. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2019. Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2018. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Khairiyah. 2016. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara). Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 117--124.

Masrizal. 2013. Penyakit Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 32--38.

Sitepu, R., Veronica, S., & Novziransyah, N. 2019. Karakteristik Kejadian Filariasis di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Kesehatan Masyarakat, 1(2), 9--15.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun