Mohon tunggu...
Ben Hur
Ben Hur Mohon Tunggu... -

Omnes homines sibi sanitatem cupiunt, saepe autem omnia, quae valetudini contraria sunt, faciunt.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sniper Untuk Calon Gubernur

19 Juli 2012   03:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:48 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(1)

Dor...........

dor............

dor............

.

.

.

Pada tembakan ketiga pecah sudah kepalanya, robek sudah jantungnya, berlubanglah lehernya, darah dan isi kepalanya terburai tercecer-cecer di sekitarnya sebelum akhirnya rebah mencium bumi.

Ben-Hur menurunkan senapannya, melihat ke kanan kiri, lalu mengamati korbannya lewat teropong senapannya. Sudah tak bergerak. Tak berkutik. Kaku meregang nyawa.

Keluarlah Ben-Hur dari persembunyiannya, melangkah dengan hati-hati dan perlahan-lahan menjauh..... menjauh....... dan semakin menjauh dari targetnya yang sudah kehilangan nyawa.

“Makin mahir saja kau, Ben-Hur”

Wowor menepuk bahu Ben-Hur yang kini sudah duduk di sampingnya. Angin begitu bersahabat kini, sejuk sekali hembusannya yang menerpa wajah Ben-Hur yang seharian tadi tegang tak bergeming dari posisi tembaknya.

Glek..... glek..... glek...... Habis sudah air mineral botol kecil hanya dalam sekejap. Ben-Hur merasakan kesegaran yang luar biasa, ketenangan yang mulai merasuki tubuh legamnya.

Diliriknya Wowor yang mengambil lagi satu botol air mineral. Selesai minum, botol-botol itu dibersihkan dengan kain perca halus lalu dibakar.

Hingga saat ini Ben-Hur tak punya apa-apa tentang Wowor, secuilpun informasi tak ada, latar belakangnya kelam, gelap dan kosong.

Terdengar selentingan ke telinga Ben-Hur, Wowor dan rekan-rekannya adalah orang-orang dari masa silam, yang kini muncul kembali karena ada panggilan penting untuk menjaga agar sejarah tak melenceng arahnya. Sehari-hari Wowor dan rekan-rekannya hanya mengamati saja apa yang terjadi di negeri ini.

“Wowor”, katanya saat pertama kali bertemu.

“Hanya itu yang harus kamu tahu tentang aku. Jangan tanya-tanya yang lain. Kalau tidak.......”, diacungkannya laras senapan ke wajah pucat Ben-Hur.

“Iya, mbah”, Ben-Hur menjawab gemetar.

“Mbah?!! Mbah ucapmu?!! Wowor atau cukup Wor”, Wowor melotot mengeluarkan biji matanya yang buram.

Begitulah, hingga saat ini orang tua itu dipanggil Wor atau Wowor. Sekitar lima menit kemudian, Wowor berdiri yang diikuti oleh Ben-Hur. Mereka pun pergi dari situ.

Ujian terakhir dari Wowor dirasa cukup memuaskan. Ben-Hur benar-benar sudah mahir membidik senapannya. Hewan berkaki empat yang sangat lincah itupun mati seketika dihantam tiga kali tembakan ke arah kepala, jantung dan leher.

(2)

“Habiskan sarapan kamu. Kita ke Jakarta sekarang”, Wowor menyeruput kopi dinginnya. Bercangkir-cangkir kopi bisa dihabiskan dalam sehari olehnya, Wowor si mata buram. Tapi anehnya ia tak merokok. Malahan ia sangat anti sama rokok.

Ben-Hur segera menghabiskan sisa daging rusa goreng yang tinggal sepotong. Air putih dalam kendi pun segera mengalir ke mulut Ben-Hur yang masih tersisa kunyahan daging dan nasi.

Wowor berdiri lalu mengitari meja makan, tepat di belakang Ben-Hur ia berhenti.

Bug....

Sekali pukulan ke leher langsung membuat Ben-Hur pingsan.

Tak lama datang mobil hartop di muka rumah, dua lelaki berjaket kulit warna hitam turun dan langsung masuk ke rumah.

“Ini 50% uang muka. Sisanya diserahkan setelah misi selesai”, tanpa banyak bicara lelaki yang dipanggil Gara menyerahkan tas berisi uang.

“Angkat bocah ini!!”, Wowor menunjuk Ben-Hur kepada Garu, lelaki gagu yang mahir melempar belati.

Mobil pun melaju menuju suatu tempat di tengah kota.

(3)

Setelah tersadar, Ben-Hur sudah berada di dalam sebuah kamar yang sangat mewah, harum dan modern. Di dindingnya tertempel teve yang sangat lebar dan tipis, bagai lukisan saja layaknya.

Dihampiri teve tersebut yang kini sedang menyiarkan berita tentang rencana pembukaan mall terbesar di kawasan selatan kota. Calon Gubernur rencananya yang akan menggunting pita.

Ben-Hur kaget, ternyata dia tak sendirian di kamar yang temaram itu. Di sudut ruang, Garu duduk tak bergeming mengawasi tingkah lakunya.

Tak lama masuk Wowor dengan seseorang berpakaian seperti pejabat setempat.

“Kenalkan pak, ini Ben-Hur si jago tembak kita”

Ben-Hur kikuk berhadapan dengan orang yang bersama Wowor yang tersenyum sopan dan tampak puas dengan apa yang dilihat.

Tanpa banyak basa-basi orang yang dipanggil Little Boss oleh Wowor ini pun menjelaskan skenario saat Calon Gubernur meresmikan mall.

“Setelah Bapak Calon Gubernur menggunting pita, ada acara melempar kendi ke udara. Nah saat kendi itu melayang di udara, tugas kamu menembak kendi tersebut sebelum mendarat ke tanah”

Ben-Hur menyimak tak berkedip sekalipun, menahan napas dan memasang telinga lebar-lebar.

“Tempat kamu menembak telah disiapkan. Di seberang mall itu ada gedung instansi pemerintah. Kamu bisa masuk ke sana bersama Garu dan Gara. Penjelasan lebih lanjut nanti bisa kamu dapat dari Wowor. Oh ya, untuk kali ini kamu hanya punya satu peluru”

Ben-Hur melirik ke Wowor yang membalas dengan anggukan kecil dan kedipan mata.

“Oh, ya. Nama operasi rahasia ini adalah Kuda Hitam”

(4)

Cukup meriah juga acara pembukaan mall ini. Ada panggung hiburan yang menghadirkan artis-artis papan atas yang sedang digandrungi saat ini.

Acara gunting pita pun berjalan lancar. Pak Calon Gubernur didampingi ibu Walikota, Pak Camat, ada juga rival-rivalnya saat pencoblosan lalu, seseorang yang dikenal dengan panggilan Little Boss pun ada di situ dan pemilik mall tentunya.

Sesuai arahan EO, mereka berjalan ke tengah arena yang telah disiapkan. Acara lempar kendi akan segera dilaksanakan, suatu ritual kuno yang jarang dilakukan. Pertama kali dilakukan konon pada jaman Majapahit saat membangun pendopo agung.

Kendi dibalut tujuh macam kembang dan seikat padi dan kain perca warna merah. Dengan penuh semangat, Pak Calon Gubernur pun bersiap melempar kendi itu.

Dari suatu gedung, Ben-Hur tak lepas matanya dari kendi yang akan dilempar Pak Calon Gubernur. Tampak pula Little Boss yang berdiri menjauh dari arena. Aneh, pikir Ben-Hur.

.

.

.

Swiiiing.............

.

.

.

Blup.... blup..... blup.....

.

.

.

Pyar....

.

.

.

Kendi pecah di udara.

Tapi wanita yang berdiri tak jauh dari ibu Walikota berteriak.

Haaa...... Hwaaaa.......

Lima detik setelah kendi pecah, seorang lelaki roboh dengan darah mengalir di dahinya tepat di antara dua matanya.

Orang lain yang tersadar dengan kejadian itu pun panik. Hanya Little Boss saja yang tersenyum puas sambil memandang ke gedung di seberang mall dan memberi aba-aba ke seorang petugas keamanan.

(bersambung.....)

Kekuasaan dan jabatan itu bagai air laut, semakin diminum semakin terasa haus. Satu samudra tak akan cukup untuk memuaskan rasa hausnya. Panggilan ibu pertiwi dan membela rakyat jelata menjadi tamengnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun