"Di banyak tempat, bendera Merah Putih dikibarkan. Tapi pertanyaannya: siapa yang masih benar-benar memaknainya?"
Bulan Agustus: Momentum atau Formalitas Tahunan?
Bulan Agustus kembali menyapa dengan segala atributnya: bendera merah putih di tiang bambu, lomba-lomba penuh nostalgia, dan spanduk dengan kalimat yang terasa makin generik. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, muncul pertanyaan klasik yang masih relevan: apakah semua ini masih bermakna, atau hanya formalitas tahunan demi menunaikan 'tugas kebangsaan'?
Di Palembang, Wali Kota Ratu Dewa mengajak masyarakatnya untuk mengibarkan bendera Merah Putih dan merayakan HUT RI secara partisipatif, kreatif, dan tertib (DetikSumbagsel, 2025). Ajakan yang sepintas tampak biasa, namun sesungguhnya menjadi alarm kecil di tengah perayaan nasional yang makin mekanis dan kehilangan ruh kebangsaan.
Palembang: Kota Tua yang Menjaga Api Muda
Sebagai kota tertua kedua setelah Kutai, Palembang menyimpan sejarah panjang---mulai dari Kerajaan Sriwijaya hingga perjuangan rakyat melawan penjajah. Tapi inilah ironi kita: kita begitu pandai menyusun narasi sejarah, tapi kerap gagal menjadikannya laku hidup.
Warga Palembang tetap mengibarkan bendera di lorong-lorong kota. Tapi sebagian besar bukan karena kesadaran, melainkan agar tidak ditegur Ketua RT. Ajakan Ratu Dewa menjadi signifikan justru karena ia mengingatkan kita bahwa nasionalisme seharusnya bukan kewajiban administratif, tapi kesadaran kolektif yang tumbuh dari bawah.
Nasionalisme: Tak Lagi Seragam, Tapi Harus Sepakat
Ekspresi cinta tanah air tidak harus dalam satu bentuk. Indonesia terlalu besar dan terlalu kaya untuk diseragamkan. Di Palembang, bentuk perayaan pun beragam: ada yang membuat lomba hias sepeda, menggelar pertunjukan teater rakyat, doa bersama lintas agama, hingga konten kreatif digital bertema nasionalisme.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Ratu Dewa bahwa semangat kemerdekaan tidak boleh dibakukan menjadi seremoni tunggal, melainkan harus dibuka untuk bentuk-bentuk baru yang kontekstual dan inklusif (DetikSumbagsel, 2025). Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki keberanian yang sama dalam mendorong ekspresi yang berbeda.
Di Era Digital, Nasionalisme Harus Pandai Bertahan
Di tengah lautan konten TikTok dan Instagram Reels, nasionalisme harus bersaing dengan challenge, tren lipsync, dan drama selebriti. Jika tidak dikemas dengan cara yang tepat, semangat kebangsaan bisa kalah oleh algoritma.
Riset dari Kominfo menunjukkan bahwa generasi muda lebih terhubung dengan narasi kebangsaan yang disampaikan lewat media sosial daripada lewat buku teks sejarah (Kominfo.go.id, 2024). Maka, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan generasi muda karena "kurang nasionalis", dan mulai introspeksi: apakah kita sudah menyampaikan nilai-nilai kebangsaan dengan bahasa yang mereka pahami?
Palembang punya peluang besar jadi pionir perayaan kemerdekaan era digital---dari konten edukatif, lomba video kreatif, hingga kolaborasi lintas komunitas daring.
Antara Euforia dan Etika: Batas yang Sering Terlupa
Perayaan 17 Agustus kerap kali melampaui batas euforia. Musik hajatan hingga larut malam, jalan ditutup tanpa koordinasi, dan pesta pora yang menyisakan sampah dan keluhan warga. Ini bukan perayaan kemerdekaan, ini bentuk baru dari penjajahan---kepada ruang publik.
Ajakan Ratu Dewa untuk tetap menjaga ketertiban dan tidak merugikan warga lain adalah pengingat penting bahwa kemerdekaan sejati adalah yang tidak melanggar hak kemerdekaan orang lain. Seperti kata Bung Hatta: "Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur."
Nasionalisme yang Bekerja Diam-diam
Mencintai negara bisa dilakukan dalam bentuk sederhana: menyapu halaman, tidak membuang sampah ke sungai, membeli produk lokal, atau membantu tetangga yang sedang kesulitan. Tapi pertanyaannya: kenapa bentuk nasionalisme ini tidak sekeren memanjat pinang atau selfie saat upacara?
Di Palembang, momentum HUT RI juga dijadikan ruang untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan seperti kerja bakti, penghijauan lingkungan, dan pameran UMKM---bentuk nasionalisme ekonomi yang sering luput dari sorotan publik (Palembang.go.id, 2025).
Penutup: Jangan Biarkan Merah Putih Jadi Background Foto Saja
Kita boleh bangga dengan bendera yang berkibar tinggi di jalan-jalan. Tapi jauh lebih penting: apakah nilai-nilainya juga kita kibarkan di hati dan tindakan?
Jika merdeka hanya dirayakan setahun sekali, lalu dilupakan 364 hari lainnya, maka sejatinya kita masih terjajah---oleh kemalasan, ketidakpedulian, dan semangat kebangsaan yang tinggal di spanduk, bukan di sikap.
"Bukan karena kita lahir di Indonesia kita mencintainya. Tapi karena kita terus merawat dan merayakannya, kita layak menyebut diri bagian dari bangsa ini."
Referensi:
1. DetikSumbagsel. (5 Agustus 2025). Walkot Palembang Ajak Warga Kibarkan Merah Putih dan Rayakan HUT RI. https://www.detik.com/sumbagsel/berita/d-8045242/
2. Kominfo.go.id. (2024). Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2024. https://kominfo.go.id
3. Palembang.go.id. (2025). Agenda Kegiatan HUT RI Kota Palembang 2025. https://palembang.go.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI