"Jika rekening tak lagi bergerak, apakah artinya tak lagi hidup? Dan jika tak hidup, bolehkah negara menyentuhnya tanpa izin kita?"
Ketika keamanan sistem keuangan dijadikan tameng untuk menjustifikasi tindakan sepihak, publik wajib bertanya: sampai sejauh mana negara boleh "menjaga" uang rakyat tanpa terlebih dahulu mengetuk pintu hukum?
Itulah yang kini terjadi dalam polemik kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).Â
Dalam keterangan resminya, PPATK menyebut tindakan ini sebagai bagian dari upaya melindungi sistem keuangan nasional dari praktik pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya.Â
Namun bagi banyak pihak, termasuk lembaga riset The PRAKARSA, kebijakan ini justru menyerempet ranah hak konstitusional warga negara.
Menurut The PRAKARSA, pemblokiran rekening yang tidak aktif selama tiga bulan tanpa indikasi pidana adalah pelanggaran terhadap asas keadilan.Â
Kita berbicara tentang hak dasar warga negara atas akses terhadap alat transaksi keuangan---bukan sekadar saldo yang terlupakan.Â
Sebab dalam praktiknya, tidak sedikit rekening yang "tidak aktif" justru dimiliki oleh lansia, pensiunan, pekerja informal, atau warga desa yang memang tidak hidup dalam ekosistem transaksi digital harian.
Jika pendekatannya hitam-putih, bagaimana nasib rekening milik seorang petani di pelosok yang hanya digunakan saat musim panen?Â
Atau rekening tabungan seorang ibu rumah tangga yang digunakan semata-mata untuk menyimpan uang arisan tahunan?Â