Oleh: Harmoko
"Pak, saya boleh peluk, nggak?"
Itu bukan kalimat dari anak saya. Bukan juga dari keponakan. Itu permintaan dari seorang anak panti asuhan, delapan tahun umurnya, polos dan penuh harap. Waktu itu saya datang mengantar bantuan kecil---sembako, beberapa pakaian, dan beberapa menit perhatian. Tapi ternyata, yang dia butuhkan bukan itu semua.
Bukan nasi. Bukan baju.
Dia hanya ingin pelukan.
Saya tercekat. Terdiam. Dan jujur---merasa kecil.
Kita Pikir Mereka Butuh Beras, Ternyata Butuh Kasih
Selama ini, kita---saya, Anda, mungkin juga banyak dari kita---menganggap bahwa membantu anak panti artinya menyumbang uang, sembako, atau baju layak pakai. Kita rasa itu cukup. Kita merasa sudah berbuat baik.
Tapi artikel Kompas edisi 28 Juli 2025, "Kekosongan Kasih Sayang: Anak Panti Butuh Perlindungan dan Pengasuhan Khusus", membuka mata saya lebar-lebar. Anak-anak panti tidak hanya kehilangan orang tua secara fisik, tapi juga secara emosional. Mereka hidup dalam kekosongan kasih sayang. Bukan hanya soal makan dan tidur, tapi juga kehilangan hal yang paling manusiawi: kehangatan dan perhatian.
Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian dari mereka ternyata masih punya keluarga. Tapi karena faktor kemiskinan, perceraian, atau konflik rumah tangga, mereka 'dititipkan' ke panti. Sayangnya, pengasuh di panti juga terbatas. Satu pengasuh bisa menangani belasan anak. Coba bayangkan, bagaimana mungkin perhatian yang hangat bisa dibagi rata?
Jangan Cuma Jadi Dermawan, Jadilah Teman