Deputi Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa fenomena ini tak bisa langsung diasosiasikan dengan kemiskinan. Tapi ini tetap sinyal. Sinyal bahwa banyak orang memilih menahan konsumsi, termasuk dari kelompok ekonomi atas.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, bahkan mereka yang pengeluarannya tinggi kini mulai menunda belanja. Alasannya macam-macam: dari harga kebutuhan pokok yang naik, hingga keinginan menabung atau investasi. Tapi yang pasti, Rojali dan Rohana tetap nongkrong di mal. Karena bagaimanapun juga, itu masih lebih murah dibanding terapi ke psikolog.
Mal Tetap Ramai, Tapi Troli Kosong
Tenant-tenant pusat perbelanjaan mulai merasakan dampaknya. Mal tetap padat, terutama saat akhir pekan. Tapi pengeluaran per kepala menurun. Yang laris? F&B alias makanan dan minuman. Mungkin karena setelah capek keliling tanpa belanja, es kopi susu bisa menyelamatkan harga diri.
Untuk mengatasi ini, pengelola pusat belanja berlomba-lomba bikin promo. Dari lucky draw, diskon akhir bulan, sampai konser kecil-kecilan. Tujuannya? Ya jelas: bikin Rojali jadi Roro (Rombongan Rombak Dompet) dan Rohana berubah jadi Rotok (Rombongan Total Konsumsi).
Dari Strategi Bertahan jadi Gaya Hidup
Fenomena ini tak melulu negatif. Ini bisa jadi bukti bahwa masyarakat kita semakin sadar finansial. Lebih memilih menunda daripada menyesal. Lebih senang melihat dulu daripada gegabah gesek kartu. Bahkan bisa jadi, Rojali dan Rohana adalah manifestasi dari survivor mode kelas menengah yang makin kreatif.
Rojali dan Rohana adalah kita. Kadang belanja, kadang nanya doang. Kadang bawa pulang barang, kadang cuma cerita. Tapi dalam tiap langkah kita di mal, selalu ada alasan: dari menghibur anak-anak, mencari udara segar, sampai berharap diskon kejutan.
Jadi, jangan anggap remeh mereka yang datang tanpa kantong belanja. Karena bisa jadi, mereka adalah cerminan dari ketahanan ekonomi rakyat. Atau minimal, ketahanan mental menghadapi harga yang makin tinggi.