Bekerja di bisnis keluarga kerap dianggap jalan pintas menuju stabilitas ekonomi. Ada kepercayaan, kedekatan emosional, dan harapan tumbuh bersama. Namun, di balik semua itu, terselip risiko besar: perasaan campur aduk, batas profesional yang kabur, dan konflik yang meledak bukan karena pekerjaan---melainkan karena luka lama yang belum sembuh.
Pertanyaannya: bisakah kita benar-benar profesional ketika yang memberi perintah adalah kakak, adik, atau bahkan orang tua sendiri?
Antara Rasa dan Kinerja: Data Tidak Pernah Bohong
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 35% unit usaha mikro dan kecil di Indonesia dikelola oleh keluarga. Artinya, jutaan orang bekerja di bawah struktur yang diikat bukan hanya oleh kontrak kerja, tetapi juga oleh garis darah dan sejarah panjang hubungan personal.
"Sering kali yang bikin konflik bukan bisnisnya, tapi karena tidak ada batas antara urusan kantor dan urusan keluarga," ujar Dr. Euis Amalia, Guru Besar Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam wawancara di Kompas TV.
Ia menekankan pentingnya etika organisasi dan kejelasan peran, karena tanpa itu, bisnis keluarga mudah berubah jadi ladang konflik yang menguras energi.
Kisah Nyata: Saat Ego dan Tradisi Harus Dikelola
Ambil contoh UMKM Batik Semar di Solo. Sang anak dipercaya menangani digitalisasi dan pemasaran online, sementara orang tua tetap memegang kendali utama. Di awal transisi, ide-ide si anak sempat dipangkas karena dianggap "terlalu modern".
Namun setelah melewati diskusi panjang dan membagi peran secara proporsional, Batik Semar kini dikenal sebagai salah satu UKM dengan strategi omnichannel terbaik di Solo menurut Laporan Bank Indonesia Solo 2024.
Cerita lain datang dari Roti Ganda, ikon kuliner di Pematangsiantar. Konflik pengelolaan sempat memanas di antara saudara pewaris. Namun restrukturisasi berbasis fungsi, bukan garis keturunan, berhasil menyelamatkan bisnis lintas generasi dan membawanya ke ranah digital tanpa kehilangan identitas.
Profesionalisme Tidak Mengenal Hubungan Darah