"Usia anak saya belum genap tujuh tahun, Pak. Jadi ditolak di semua SD negeri. Kami orang kecil, tak sanggup bayar SD swasta."
Kalimat itu terdengar lirih, diucapkan oleh seorang ibu rumah tangga di Jakarta Barat yang saya temui dalam antrean pendaftaran siswa baru. Di tangannya ada map, brosur sekolah, dan wajah bingung. Di belakangnya, anaknya yang masih mengenakan seragam TK, memeluk erat boneka kecil.
Situasi ini nyata. Dialami oleh ribuan keluarga Indonesia. Ketika sistem pendidikan dasar justru menciptakan kesenjangan sejak langkah pertama. Ketika angka usia dan jumlah digit rupiah lebih menentukan dari semangat belajar dan hak setiap anak.
1. Usia Jadi Penghalang, Bukan Penentu Kesiapan
Syarat usia masuk SD negeri kerap menjadi batu sandungan yang absurd. Anak yang lahir Oktober, November, atau Desember---meski hanya beda dua bulan dari cut-off usia tujuh tahun---langsung tersingkir dari pendaftaran.
Pertanyaannya, apakah dua bulan selisih usia benar-benar membuat perbedaan signifikan dalam kesiapan belajar anak? Atau kita hanya bersembunyi di balik administrasi, tak mau repot menilai kesiapan individu?
Di beberapa negara, asesmen kesiapan belajar jauh lebih utama dibandingkan batas usia. Tapi di sini, lahirmu harus "tepat waktu", atau nasibmu akan belok ke arah lain: entah menunggu setahun, atau menempuh jalur mahal.
2. Zonasi yang Tak Kenal Keadilan Sosial
Zonasi awalnya lahir untuk menciptakan pemerataan. Tapi pada praktiknya, zonasi kerap menyingkirkan warga miskin kota yang tinggal di luar zona sekolah unggulan.
Mereka yang tinggal di gang sempit, rumah kontrakan pinggiran, atau rusun---meski dekat secara jarak, tak masuk peta administratif. Akibatnya, ditolak di SD negeri, dan didorong ke sekolah swasta yang mungkin lebih dekat secara moral... tapi jauh secara finansial.