Selama lebih dari satu abad, Indonesia berdiri tegak sebagai salah satu raksasa dalam industri karet dunia. Di tengah perubahan zaman dan pasar global yang fluktuatif, komoditas ini tetap menjadi andalan bagi jutaan masyarakat desa. Namun, wacana konversi dua juta hektar kebun karet menjadi lahan sawit yang dilontarkan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tiba-tiba mengubah nada. Ia bukan hanya menimbulkan kegelisahan, tetapi juga menyulut pertanyaan mendasar: mau dibawa ke mana industri karet nasional?
Karet: Bukan Sekadar Getah
Karet bagi Indonesia bukan sekadar pohon penghasil getah. Ia adalah sejarah panjang kolonialisme, perjuangan petani, dan andalan ekspor nonmigas. Sejak zaman Hindia Belanda, karet sudah ditanam di Sumatera dan Kalimantan, mengalirkan devisa ke negeri ini bahkan sebelum kita mengenal CPO (crude palm oil) atau nikel.
Hari ini, industri karet nasional masih menjadi tulang punggung bagi lebih dari 2,3 juta keluarga petani. Mereka menggantungkan hidup dari sadapan pagi, hari demi hari, dalam kebun-kebun yang luasnya mencapai lebih dari 3,6 juta hektar. Tak hanya itu, industri ini juga menggerakkan 152 pabrik karet remah dan 14 pabrik ban nasional, membentuk ekosistem yang menyerap tenaga kerja, menghidupkan UMKM penunjang, dan memperkuat industri otomotif nasional.
Ancaman Konversi: Siapa Diuntungkan? Siapa Dikorbankan?
Pernyataan Menteri Pertanian tentang konversi kebun karet ke sawit sontak mengundang reaksi dari banyak pihak. Argumen utamanya adalah efisiensi ekonomi: harga sawit dianggap lebih menguntungkan dibandingkan karet yang stagnan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah---apakah solusi atas rendahnya harga karet adalah menggantinya dengan sawit? Ataukah seharusnya kita mencari cara meningkatkan nilai tambah karet itu sendiri?
Sawit memang menawarkan return jangka pendek yang tinggi, terutama ketika harga global sedang menggoda. Tapi, sawit juga membawa tantangan besar: deforestasi, konflik agraria, ketergantungan ekspor, dan volatilitas pasar dunia. Sementara karet, meskipun harganya fluktuatif, adalah tanaman yang relatif ramah lingkungan dan memiliki potensi besar dalam rantai hilirisasi industri---dari ban mobil, sarung tangan medis, hingga komponen elektronik.
Dengan kata lain, konversi lahan bukan hanya keputusan pertanian, tapi juga keputusan politik, ekologi, dan sosial. Jika lahan petani dikonversi demi keuntungan jangka pendek, siapa yang akan menanggung kerugian jangka panjangnya?
Karet dan Hilirisasi: Potensi yang Belum Dioptimalkan
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar mendorong hilirisasi industri tambang dan perkebunan. Namun, entah mengapa, karet seperti anak tiri dalam strategi ini. Padahal, negara seperti Thailand dan Vietnam berhasil menjadikan karet bukan hanya komoditas mentah, tapi juga produk industri berteknologi tinggi yang berdaya saing global.