Oleh: Harmoko | Sabtu, 5 Juli 2025
Setiap kali melihat iklan rumah subsidi dengan embel-embel "cicilan ringan", "angsurannya seperti ngontrak", atau "cukup bawa KTP dan slip gaji", banyak masyarakat berpenghasilan rendah langsung pasang harapan tinggi. Rumah subsidi memang dirancang sebagai jawaban negara atas hak dasar warganya: tempat tinggal yang layak, aman, dan terjangkau.
Namun seperti cinta di sinetron, ekspektasi sering tak sejalan dengan kenyataan. Rumah subsidi yang diharapkan menjadi titik awal kehidupan yang lebih mapan, justru sering menghadirkan kekecewaan: kualitas bangunan seadanya, lokasi jauh dari pusat kehidupan, dan pelayanan pasca-penjualan yang minim. Ini bukan sekadar keluhan personal. Ini refleksi sosial dari kegagalan sistemik dalam memaknai kembali "subsidi" sebagai instrumen kesejahteraan.
Ekspektasi: Rumah sebagai Tempat Bertumbuh, Bukan Sekadar Berteduh
Bagi keluarga muda, rumah subsidi bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah simbol stabilitas, pencapaian, dan ruang tumbuh bersama. Bayangkan seorang pekerja pabrik atau pegawai swasta level junior yang selama ini hidup berpindah-pindah kontrakan. Saat mendengar bahwa ia bisa punya rumah sendiri dengan cicilan Rp900.000 per bulan, tentu ada rasa bangga sekaligus haru. Rumah itu akan menjadi tempat anak pertamanya tumbuh, tempat istrinya menanam bunga, tempat mertua menginap saat Lebaran.
Maka tak heran jika ekspektasi masyarakat terhadap rumah subsidi cukup tinggi. Mereka membayangkan rumah sederhana, tapi kokoh. Ukuran kecil, tapi cukup cahaya dan ventilasi. Jauh dari mewah, tapi bersih, aman, dan layak dihuni dalam jangka panjang. Mereka tak berharap dapat rumah impian di kawasan elite, tapi mereka berharap tidak harus menambal atap bocor dua minggu setelah serah terima kunci.
Sayangnya, banyak yang bangun lebih dulu dari mimpi---karena diguyur hujan masuk dari genteng. Harapan yang runtuh lebih cepat dari fondasi rumahnya.
Realita: Rumah Subsidi Tak Selalu Punya Nyawa
Fakta di lapangan kerap menyakitkan. Banyak penghuni rumah subsidi mengeluhkan kualitas bangunan yang buruk: tembok retak, dinding lembap, pintu miring, septic tank bocor, hingga atap yang ambruk. Semua ini terjadi bukan karena gempa, tapi karena ketergesaan dan efisiensi biaya yang kelewat batas.
Beberapa rumah subsidi bahkan tidak punya sistem drainase layak, menyebabkan banjir kecil tiap musim hujan. Belum lagi soal lokasi yang jauh dari fasilitas umum---rumah subsidi yang dibangun di pinggir kota atau tengah kebun sawit, jauh dari sekolah, pasar, rumah sakit, bahkan angkutan umum. Warga akhirnya harus membeli kendaraan atau membayar ojek mahal hanya untuk mengantar anak sekolah.
Sebagian besar pengembang berdalih: harga rumah subsidi sudah ditentukan pemerintah. Artinya, mereka harus pintar-pintar menyesuaikan kualitas dan biaya agar tetap untung. Tapi apakah "pintar-pintar" itu berarti memakai material kelas tiga dan tenaga kerja tanpa pelatihan?