Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melestarikan Tradisi Lewat Festival: Saatnya Wisata Budaya Naik Kelas

4 Juli 2025   00:42 Diperbarui: 4 Juli 2025   00:42 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI/Dokumentasi pribadi diolah dengan sistem generative AI 

Misalnya, ada festival yang lebih banyak menampilkan pertunjukan modern atau artis ibukota ketimbang seniman lokal. Warung-warung franchise justru lebih banyak daripada lapak kuliner khas daerah. Yang viral bukan makna budaya, tapi foto OOTD peserta dengan caption "aesthetic" tanpa konteks.

Ada juga tantangan "TikTokisasi" budaya, di mana festival dipandang hanya sebagai latar konten sosial media, bukan ruang pemaknaan budaya. Generasi muda lebih tertarik menari 15 detik di pinggir arena ketimbang bertanya: "Kenapa tradisi ini dilakukan? Apa nilainya bagi kami hari ini?"

Bukan berarti teknologi harus dijauhi. Tapi digitalisasi budaya mestinya menjadi alat pelestarian, bukan pengalihan perhatian. Festival harus tetap adaptif, tapi tidak kehilangan akar.

Di sisi lain, festival budaya juga punya potensi besar sebagai penggerak edukasi lintas generasi. Sekolah bisa menjadikan festival sebagai media pembelajaran luar kelas---mengenal alat musik tradisional, memahami kosakata lokal, atau meneliti sejarah daerah.

Tak hanya itu, festival juga bisa jadi motor ekonomi kerakyatan. UMKM lokal, perajin batik, pembuat kerajinan bambu, pedagang makanan khas---semua bisa ikut tumbuh jika festival dikelola secara partisipatif. Ini juga peluang bagi desa wisata untuk naik kelas dengan menjadikan festival sebagai highlight dalam kalender pariwisata mereka.

Contoh baik bisa dilihat dari Festival Baliem yang melibatkan komunitas lokal dalam semua aspek: dari perencanaan hingga promosi. Hasilnya? Wisatawan datang bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai pembelajar budaya.

Agar festival budaya tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, diperlukan kerja kolaboratif:

Pemerintah harus memastikan festival tidak hanya dibiayai, tapi juga dibina. Ada pelatihan, pendampingan, dan strategi pengembangan yang berkelanjutan.

Komunitas lokal harus menjadi subjek utama, bukan hanya pelengkap eksotisme. Mereka tahu cerita, tahu makna, tahu bagaimana menjaga marwah budaya.

Generasi muda harus dilibatkan sebagai penggerak. Festival bukan cuma "panggung orang tua", tapi ruang belajar dan ekspresi lintas usia. Banyak anak muda sekarang yang kreatif membuat dokumenter budaya, membuat komik tentang legenda lokal, bahkan menciptakan game edukatif dari mitologi daerah.

Budaya harus diwariskan secara hidup, bukan diwariskan lewat museum diam.

Di tengah globalisasi dan serbuan budaya pop asing, festival budaya Indonesia bisa menjadi jangkar identitas. Ia bukan sekadar perayaan, tapi pernyataan: "Kami punya cerita, punya akar, punya cara sendiri untuk merayakan hidup."

Festival budaya yang dikemas dengan baik akan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan inovasi. Saatnya festival tak sekadar meriah dan ramai, tapi juga bermakna dan membekas. Itulah ciri wisata budaya yang naik kelas---bukan sekadar hiburan, tapi pengalaman transformatif.

Jadi, ketika kita ikut Pacu Jalur atau menyaksikan Karapan Sapi, kita tidak hanya melihat perahu dan sapi berlomba. Kita sedang menyaksikan bangsa ini berpacu dengan waktu, berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur agar tidak tenggelam oleh zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun