"Dulu saya cuma jualan peyek di warung kecil. Sekarang saya bisa kirim pesanan ke tiga kota berbeda tiap minggu," ucap Bu Marni sambil tersenyum bangga. Ibu rumah tangga asal Banyumas ini bukan lulusan sekolah bisnis. Ia juga bukan seleb TikTok dengan ribuan follower. Tapi lewat GadePreneur, dia jadi contoh nyata bagaimana UMKM kecil bisa tumbuh besar, asal diberi ruang, akses, dan semangat.
Program GadePreneur dari PT Pegadaian bukan sekadar CSR biasa. Ia bukan cuma tentang menyalurkan dana atau memberi pelatihan satu-dua kali. Di balik namanya, tersimpan semangat: memanusiakan pelaku usaha mikro, memberdayakan bukan menyayangi, mendorong bukan mendikte.
UMKM: Kecil Tapi Jadi Andalan
Di Indonesia, 97 persen lapangan kerja diserap oleh UMKM. Mereka menyumbang lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto. Tapi ironisnya, pelaku UMKM juga yang paling rentan saat krisis datang. Kurangnya akses modal, rendahnya literasi keuangan dan digital, hingga minimnya legalitas membuat banyak usaha mandek di tempat.
Banyak pelaku usaha kecil yang akhirnya menyerah. Bukan karena mereka malas, tapi karena sistem yang seringkali tak memihak. Dalam situasi seperti inilah, GadePreneur hadir sebagai katalis perubahan.
GadePreneur: Bukan Sekadar Program, Tapi Gerakan
Diluncurkan sebagai bagian dari pilar Pegadaian Peduli, GadePreneur menawarkan lebih dari sekadar pembiayaan. Ini adalah ekosistem.
Peserta tak hanya mendapatkan pinjaman yang ramah---dengan bunga ringan dan proses cepat---tetapi juga akses pelatihan intensif, pendampingan rebranding, hingga peluang tampil di pameran. Bahkan untuk mereka yang belum punya logo atau kemasan, tim GadePreneur siap turun tangan.
Dan yang paling menarik: program ini terbuka juga bagi masyarakat umum, bukan cuma nasabah Pegadaian. Inklusif dan menjangkau hingga pelosok desa.
Cerita dari Lapangan: Ketika Harapan Dihidupkan Kembali
Bu Marni hanyalah satu dari ribuan kisah. Ada Pak Darto, mantan penjual batik keliling asal Solo, yang kini punya toko daring dengan omzet naik 3 kali lipat. Lewat pelatihan GadePreneur, ia belajar memotret produknya, memasarkan lewat Instagram, dan mengatur pembukuan sederhana.
Lalu ada Mbak Lina, eks pekerja migran dari Lombok yang kini jadi produsen keripik daun singkong dengan merek sendiri. Ia mengaku tak pernah membayangkan produknya bisa dipajang di pameran UMKM nasional. "Dulu saya minder karena cuma lulusan SD. Sekarang saya berani tampil dan cerita soal usaha saya di depan orang banyak," katanya.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa yang dibutuhkan UMKM bukan belas kasihan, melainkan kesempatan.
Refleksi: Mengapa Program Seperti Ini Penting?
Karena terlalu banyak potensi yang terpendam di kampung-kampung, di gang-gang sempit, di tangan-tangan yang tak pernah menyentuh ruang rapat atau aula seminar. Potensi yang hanya perlu dijemput, diberdayakan, dan diberi panggung.
Program seperti GadePreneur bukan hanya menjawab kebutuhan, tapi juga membangun harapan. Ia menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi bukan monopoli kota besar. Bahwa pelaku usaha kecil bisa bersaing, asal diberi akses dan kepercayaan.
Penutup: Dari Warung Kecil ke Pasar Digital
Kisah Bu Marni, Pak Darto, dan Mbak Lina bukan dongeng. Mereka nyata. Mereka tetangga kita, keluarga kita, bahkan mungkin kita sendiri. Dan mereka menunjukkan satu hal penting: bila diberi ruang untuk bertumbuh, pelaku usaha kecil tak hanya bisa berdiri, tapi juga berlari.
GadePreneur bukan hanya membantu UMKM bertahan. Ia membantu mereka melesat. Dari terpinggirkan jadi tangguh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI