Kita sering kali memuja gunung seperti kita memuja cinta pertama---penuh kagum, penuh harap, dan sesekali lupa bahwa cinta pun bisa melukai. Gunung Rinjani, mahkota alam Nusa Tenggara Barat, selama ini menjanjikan petualangan dan ketakjuban. Tapi seperti cinta yang tak semua berakhir bahagia, Gunung Rinjani juga menyimpan luka.
Luka itu bernama Juliana De Souza Pereira Marins.
Ia datang jauh-jauh dari Brasil, negara yang nyaris di ujung dunia dari Indonesia, membawa semangat menjelajah, mendaki, dan mungkin juga menyabung janji dengan dirinya sendiri: untuk menaklukkan Rinjani, untuk berdamai dengan alam, atau sekadar membuktikan bahwa tubuh dan nyali masih bisa menyatu dengan medan ekstrem.
Namun takdir berkata lain. Di Cemara Tunggal, di ketinggian yang memisahkan langit dan bumi, Juliana terjatuh. Evakuasi yang berlangsung enam hari kemudian membawa tubuhnya turun, namun menyisakan pertanyaan yang belum turun dari benak banyak orang: "Mengapa selama itu?"
Pendakian: Antara Wisata dan Bahaya Nyata
Sebagai warga negara Indonesia, saya tahu bahwa Gunung Rinjani bukan sekadar tumpukan tanah dan bebatuan yang menjulang. Ia adalah simbol. Simbol kekuatan, ketahanan, dan daya tarik Indonesia sebagai negara dengan wisata alam yang luar biasa.
Tapi justru karena itu, kita juga harus lebih bertanggung jawab.
Kita---sebagai bangsa, pemerintah, pelaku wisata, dan masyarakat---telah menjual keindahan gunung-gunung kita ke mancanegara. Kita mengundang dunia untuk datang dan menyatu dengan alam Indonesia. Maka ketika seseorang seperti Juliana datang dan nyawanya melayang, dunia berhak bertanya: "Apakah Indonesia aman bagi para petualang yang datang dengan mimpi?"
Saya tidak menyalahkan Rinjani. Gunung itu tak pernah menjanjikan keselamatan. Tapi manusia yang mengelolalah yang seharusnya menjanjikan itu.
Enam Hari yang Terlambat