Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Sudah Banyak Pilihan, Tapi Dompet Masih Bimbang: Mobil Listrik Belum Jadi Jawaban Semua Orang

26 Juni 2025   08:39 Diperbarui: 26 Juni 2025   08:39 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata siapa makin banyak pilihan bikin kita cepat mengambil keputusan? Nyatanya, lihat saja rak mi instan di minimarket---pilih rasa kari ayam atau rendang saja bisa bikin kita berdiri sepuluh menit. 

Apalagi kalau pilihannya bukan sekadar rasa, tapi kendaraan masa depan: mobil listrik. Katanya sih, sudah saatnya beralih. Tapi... benarkah kita sudah siap?

Iklan-iklan mobil listrik kini tampil menggoda: tanpa emisi, senyap, biaya operasional lebih murah. 

Belum lagi desainnya yang futuristik, bikin mobil bensin kelihatan kayak ponsel jadul. 

Pemerintah pun tak kalah semangat: insentif pajak, subsidi, sampai pengembangan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum).

Namun, realitas di lapangan tak seindah brosur. 

Harga mobil listrik memang makin "masuk akal", tapi tetap saja mayoritas masyarakat belum sanggup beli, terutama yang masih jungkir balik cicil motor. 

Belum lagi soal infrastruktur pengisian daya yang masih jarang, terutama di luar kota-kota besar.

Bayangkan kalau sedang perjalanan ke desa, baterai nyaris habis, dan SPKLU terdekat 50 km lagi---itu pun belum tentu aktif. 

Kalau mobil bensin, tinggal mampir warung dan beli pertalite eceran di botol AQUA 

Tentu, argumen lingkungan tak bisa diabaikan. Mobil listrik adalah solusi jangka panjang untuk mengurangi emisi karbon. 

Tapi jangan lupa: masyarakat tidak hidup di dalam grafik laporan PBB. Mereka hidup di realitas sehari-hari, di mana harga sembako naik, gaji pas-pasan, dan cicilan motor belum lunas.

Kalau dikasih dua pilihan:

1. Beli mobil listrik demi masa depan planet, atau

2. Beli motor second demi bisa antar anak sekolah,

...ya maaf, masa depan bumi bisa nunggu sebentar.

Sebagian besar masyarakat masih belum paham betul cara kerja mobil listrik. Banyak yang bertanya:

Gimana kalau mati listrik di rumah?

Baterainya tahan berapa lama?

Mahal enggak perawatan?

Di sinilah pentingnya edukasi publik yang menyeluruh, bukan sekadar kampanye iklan penuh jargon hijau. 

Pemerintah, produsen, dan media perlu menjelaskan dengan bahasa sederhana, bukan hanya kepada "kelas menengah melek teknologi", tapi juga ke masyarakat umum.

Listriknya dari Mana Dulu?

Ada satu paradoks yang juga perlu dicermati: mobil listrik memang tidak mengeluarkan asap, tapi listrik yang dipakai untuk mengisi dayanya... masih dominan berasal dari pembangkit batu bara.

Jadi, kalau mobil listrik kita isi dayanya pakai listrik "hitam", ya polusinya hanya berpindah lokasi: dari knalpot ke cerobong PLTU. Apakah ini solusi atau sekadar kamuflase?

Mobil listrik baru benar-benar ramah lingkungan jika didukung transisi energi bersih secara menyeluruh. Bukan hanya ganti mobil, tapi juga ganti sumber energinya.

Mobil listrik memang bagian penting dari masa depan transportasi. Tapi seperti obat, tidak bisa satu resep untuk semua pasien. 

Kita perlu pendekatan yang disesuaikan dengan konteks sosial, ekonomi, dan geografis masyarakat Indonesia.

Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur, memperluas edukasi, serta menghadirkan opsi kendaraan listrik yang lebih terjangkau dan realistis bagi semua kalangan. 

Produsen jangan hanya berlomba menciptakan mobil canggih, tapi juga yang praktis, hemat, dan bisa diandalkan di segala cuaca dan jalanan.

Dan bagi kita sebagai konsumen, tidak perlu merasa malu kalau belum bisa beralih. Pilih kendaraan bukan soal gengsi, tapi soal fungsi. 

Kalau sekarang masih pakai motor bensin, ya tidak apa-apa---yang penting tetap hati-hati di jalan dan ramah di parkiran.

Jadi, sudahkah kita siap beralih ke mobil listrik?

Jawabannya mungkin bukan "ya" atau "tidak", tapi "belum".

Dan itu bukan dosa.

Yang penting, arah sudah benar---tinggal jalannya dibuat lebih mulus dan tidak hanya bisa dilewati oleh mereka yang dompetnya tebal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun