Permasalahan perumahan di Palembang tak bisa dilepaskan dari isu transportasi publik. Kota ini sudah punya LRT yang membentang dari Bandara SMB II ke Jakabaring.Â
Tapi apakah LRT cukup? Sayangnya, belum.
Layanan feeder (pengumpan) LRT hanya menjangkau sebagian kecil permukiman. Koridor Trans Musi pun beroperasi terbatas.Â
Akibatnya, rumah murah yang letaknya jauh justru membuat ongkos hidup membengkak---dari sisi waktu, tenaga, dan biaya transportasi.
Pemerintah Kota Palembang sudah menyadari krisis ini. Kepala Bappeda Litbang Palembang, Dr. Korlena, ST., MT., menyatakan pada April 2025 bahwa pihaknya tengah menyiapkan kebijakan zonasi permukiman terjangkau dan insentif untuk pengembang.
"Kami menargetkan hadirnya hunian terjangkau yang terintegrasi dengan transportasi umum. Revisi RTRW sedang kami siapkan untuk memperluas zona permukiman dan menstabilkan harga tanah," kata Korlena melalui siaran resmi Bappeda.
Pernyataan ini patut diapresiasi, namun implementasinya harus diawasi ketat.Â
Pasalnya, banyak program perumahan rakyat sebelumnya gagal karena buruknya integrasi antarinstansi dan minimnya pengawasan pembangunan.
Krisis ini tidak hanya berdampak pada sisi ekonomi, tetapi juga sosial. Rumah bukan sekadar bangunan, melainkan fondasi kehidupan sosial yang stabil.Â
Tanpa rumah sendiri, generasi muda terancam tak punya akar: mereka berpindah-pindah, sulit menabung, dan terpaksa menunda pernikahan atau membesarkan keluarga.
Pemerintah seharusnya tidak membiarkan sektor perumahan sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar.Â