Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Financial

Milenial Palembang Kian Sulit Punya Rumah

7 Juni 2025   18:29 Diperbarui: 7 Juni 2025   18:29 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah (Dokumentasi Pribadi/Diolah dengan Sistem Generative AI)

Memiliki rumah pribadi adalah impian banyak orang. Tapi di Palembang, impian itu semakin sulit dicapai, terutama oleh generasi milenial yang berpenghasilan setara Upah Minimum Kota (UMK). 

Harga rumah terus merangkak naik, sementara pendapatan stagnan. Pemerintah memang menyadari persoalan ini, tetapi solusi struktural belum kunjung datang.

Pada 2025, UMK Palembang mencapai Rp 3.916.635. Angka ini tertinggi di Sumatra Selatan, tapi tetap belum cukup untuk mencicil rumah layak huni. 

Dalam praktik keuangan yang sehat, hanya 30--35 persen penghasilan yang boleh digunakan untuk mencicil rumah. 

Artinya, maksimal cicilan per bulan sekitar Rp 1,37 juta. Dengan bunga 8 persen dan tenor 15 tahun, nilai rumah yang bisa dibeli tak lebih dari Rp 150 juta.

Pertanyaannya: apakah masih ada rumah seharga Rp 150 juta di Palembang? Jawabannya, hampir tidak ada---kecuali di kawasan pinggiran yang jauh dari pusat kerja dan minim transportasi.

Di kawasan Sukarame, Plaju, atau Ilir Timur, harga rumah tipe 36 sudah menyentuh Rp 350 juta--500 juta. 

Bahkan di kawasan pinggiran seperti Talang Kelapa, Jakabaring, atau Alang-Alang Lebar, harga rumah bersubsidi pun telah mendekati Rp 130 juta. 

Sayangnya, unit subsidi ini terbatas, dengan daftar antrean panjang. Rumah pun tak selalu layak---baik dari sisi kualitas material, sanitasi, maupun akses air bersih.

Hal ini membuat para milenial terjebak di antara dua pilihan: menyewa rumah kontrakan dengan harga kian mahal, atau membeli rumah murah jauh di pinggiran tanpa jaminan transportasi.

Permasalahan perumahan di Palembang tak bisa dilepaskan dari isu transportasi publik. Kota ini sudah punya LRT yang membentang dari Bandara SMB II ke Jakabaring. 

Tapi apakah LRT cukup? Sayangnya, belum.

Layanan feeder (pengumpan) LRT hanya menjangkau sebagian kecil permukiman. Koridor Trans Musi pun beroperasi terbatas. 

Akibatnya, rumah murah yang letaknya jauh justru membuat ongkos hidup membengkak---dari sisi waktu, tenaga, dan biaya transportasi.

Pemerintah Kota Palembang sudah menyadari krisis ini. Kepala Bappeda Litbang Palembang, Dr. Korlena, ST., MT., menyatakan pada April 2025 bahwa pihaknya tengah menyiapkan kebijakan zonasi permukiman terjangkau dan insentif untuk pengembang.

"Kami menargetkan hadirnya hunian terjangkau yang terintegrasi dengan transportasi umum. Revisi RTRW sedang kami siapkan untuk memperluas zona permukiman dan menstabilkan harga tanah," kata Korlena melalui siaran resmi Bappeda.

Pernyataan ini patut diapresiasi, namun implementasinya harus diawasi ketat. 

Pasalnya, banyak program perumahan rakyat sebelumnya gagal karena buruknya integrasi antarinstansi dan minimnya pengawasan pembangunan.

Krisis ini tidak hanya berdampak pada sisi ekonomi, tetapi juga sosial. Rumah bukan sekadar bangunan, melainkan fondasi kehidupan sosial yang stabil. 

Tanpa rumah sendiri, generasi muda terancam tak punya akar: mereka berpindah-pindah, sulit menabung, dan terpaksa menunda pernikahan atau membesarkan keluarga.

Pemerintah seharusnya tidak membiarkan sektor perumahan sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar. 

Di kota-kota besar dunia, perumahan rakyat tetap menjadi tanggung jawab negara, dengan skema campuran: penyediaan tanah publik, pembiayaan jangka panjang, serta insentif bagi koperasi dan pengembang komunitas.

Jika Palembang ingin tumbuh sebagai kota modern dan inklusif, maka perlu keberpihakan pada kelompok muda dan kelas pekerja. 

Rumah layak dan terjangkau harus menjadi prioritas kebijakan, bukan sekadar angka dalam laporan kinerja tahunan.

Pertama, Pemkot harus menyediakan lahan murah untuk pembangunan rumah rakyat. Banyak lahan tidur milik pemerintah bisa dioptimalkan untuk proyek ini. 

Kedua, kembangkan angkutan massal terintegrasi ke kawasan pinggiran, bukan hanya di pusat kota. 

Ketiga, dorong skema pembiayaan kolaboratif seperti KPR syariah komunitas, koperasi perumahan, dan digitalisasi pengajuan subsidi.

Tanpa langkah konkret, kita hanya akan melihat generasi muda yang makin terasing dari kotanya sendiri---bekerja di pusat, tetapi tinggal di ujung kota; membayar pajak, tapi tak punya rumah.

Kota Palembang sedang di persimpangan jalan: apakah akan menjadi kota untuk semua, atau hanya bagi mereka yang mampu membeli? 

Jawabannya tergantung pada keberanian pemimpin hari ini untuk melihat rumah bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai hak dasar warga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun