"Kehendak bebas.... Jadi, maksud-Mu, Tuhan, manusia memilih dosanya sendiri, tanpa memerlukan bisikanku?"
Kutipan ini, yang seolah diucapkan oleh "setan", sarat dengan sindiran dan ironi. Dalam satu kalimat pendek, ia menggugat gagasan lama yang terus hidup: bahwa manusia berbuat dosa karena digoda oleh kekuatan luar, bukan karena pilihannya sendiri. Namun, bagaimana jika kita berani menatap cermin dan menerima bahwa keburukan bukanlah hasil bisikan setan, melainkan lahir dari kehendak kita yang bebas?
Esai ini mengajak kita masuk ke ranah filsafat moral, menelusuri akar dari pertanyaan klasik: siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan manusia?
Kecenderungan untuk menyalahkan pihak luar atas perbuatan buruk adalah mekanisme psikologis yang sangat tua. Dalam budaya Yahudi kuno, dikenal praktik scapegoating---seekor kambing dilepaskan ke padang gurun, membawa dosa-dosa umat. Dari sinilah istilah "kambing hitam" lahir. Hari ini, kambing hitam itu bisa berupa keadaan, orang lain, sistem, bahkan "setan".
"Setan menggoda saya," adalah kalimat yang sering dipakai dalam narasi religius untuk menjelaskan kegagalan moral. Tapi apakah benar? Ataukah itu hanyalah cara halus untuk menghindari rasa bersalah?
Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre menyampaikan dalam Existentialism is a Humanism bahwa:
"Man is nothing else but what he makes of himself."
Artinya, manusia adalah hasil dari pilihannya sendiri. Tidak ada kodrat tetap, tidak ada dalih absolut. Jika ia melakukan kejahatan, maka itu adalah ekspresi dari kebebasannya---dan ia harus memikul konsekuensinya.
Pertanyaan tentang kehendak bebas (free will) adalah pusat perdebatan etika selama berabad-abad. Bagi Immanuel Kant, kehendak bebas bukan hanya ada, tetapi menjadi syarat bagi moralitas. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant menegaskan:
"Freedom is the only one of all the ideas of the speculative reason of which we know the possibility a priori, because it is the condition of the moral law."