Pasangan Endang dan Khuyadi mengakui fasilitas yang tersedia tahun ini cukup mendukung. Bus Shalawat---yang melayani antar-jemput ke Masjidil Haram---ramah disabilitas dan selalu tersedia di depan hotel. Kamar penginapan juga relatif mudah diakses kursi roda.
Namun demikian, perjalanan dari Madinah ke Mekkah masih menyisakan hambatan. Beberapa rest area tidak memiliki jalur landai khusus kursi roda. Bahkan sejumlah toilet umum belum ramah difabel. "Tapi tak masalah. Selebihnya masih baik. Pelayanan, makanan, akses, kamar, sudah cukup lumayan," ujar Endang, tetap bersyukur.
Mandiri di Tengah Usia Senja: Kisah Makku dari Gowa
Endang bukan satu-satunya lansia yang menjalani haji dengan semangat luar biasa. Ada juga Makku (65 tahun), jemaah dari Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Meski tidak menggunakan kursi roda, tubuhnya yang renta membuatnya lebih lambat menyelesaikan tawaf dan sai.
"Tidak apa lambat, tapi saya bersyukur bisa tawaf dan sai sendiri. Sudah beberapa kali saya datang ke Masjidil Haram untuk shalat. Kadang shalat Isya di sana, lanjut sampai Subuh," tuturnya.
Keberadaan bus Shalawat yang mudah diakses membuatnya tak harus selalu bergantung pada petugas. Ia dan rekan-rekan lansia lainnya cukup berdua atau bertiga untuk pergi ke masjid. Tak jarang pula petugas non-pendamping membantu jemaah yang tersasar atau kesulitan, termasuk dari tim Media Center Haji yang kerap turun tangan langsung.
Ibadah Fisik yang Menantang
Haji bukan semata perjalanan spiritual, melainkan juga ibadah fisik. Tawaf dan sai, misalnya, menurut data aplikasi kesehatan bisa mencapai lebih dari 10.000 langkah. Melontar jumrah juga menuntut fisik yang kuat.
Namun keterbatasan tidak lantas melemahkan khusyuk. Endang dan suaminya menunaikan tawaf di lantai dua dengan kursi roda sambil terus berzikir dan memanjatkan doa. "Kekhusyukan itu datang dari hati, bukan dari kaki," mungkin menjadi kalimat yang mencerminkan semangat mereka.
Ribuan Lansia Menanti hingga Belasan Tahun