Mohon tunggu...
Harlinton Simanjuntak
Harlinton Simanjuntak Mohon Tunggu... Administrasi - Disciple

Gunung itu tempat terindah merefleksikan keagungan Sang Pencipta. Ayo daki gunung....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Penggunaan Pengeras Suara: Tidak Perlu Dipolitisasi

18 Maret 2024   16:47 Diperbarui: 18 Maret 2024   16:52 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) merilis surat edaran (SE) yang mengatur pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan 1445 Hijriah/2024 Masehi. SE ini memuat aturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala, dengan merujuk kepada isi SE nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.[1] Imbauan ini kontan menjadi polemik, khususnya di kalangan umat Islam.

Imbauan tersebut berkaitan dengan penggunaan pengeras suara pada saat pelaksanaan salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur'an, agar setiap masjid dan musala hanya menggunakan pengeras suara dalam bukan pengeras suara luar. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan antarwarga masyarakat. Mengingat bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

Imbauan pemerintah tersebut tentu telah mempertimbangkan dan memperhatikan keberagaman dan kemajemukan penduduk negeri ini. Itu seharusnya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan dan tidak boleh diskriminatif. Maksudnya, pelaksanaannya harus seragam tanpa memberi perbedaan antara perkotaan dan pedesaan, atau memberi perlakuan khusus bagi wilayah tertentu.

Indonesia terdiri atas kelompok masyarakat yang beragam, bukan saja beragam dari aspek budaya, agama, keyakinan, suku, dan sebagainya, tetapi juga beragam dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik. Kota dan desa sama-sama memiliki corak keberagaman masing-masing, tidak ada kelompok masyarakat yang murni homogen di dalam setiap wilayah. Di tengah keberagaman warga negara Indonesia, maka perlu dan penting untuk tetap menjaga kerukunan antarwarga masyarakat agar tidak menimbulkan berbagai potensi perpecahan atau gesekan di antara sesama warga masyarakat.

Dewan Masjid Indonesia (DMI) sendiri mendukung imbauan tersebut khususnya demi menjaga kesyahduan dalam masyarakat perkotaan yang heterogen sebagaimana yang disampaikan oleh Sekjen DMI Imam Addaruqutni.[2] Namun, beliau memahami bahwa imbauan itu tidak berlaku bagi masjid atau musala yang ada di perkampungan. Saya kira, pendapat ini kurang bijak karena di perkampungan atau pedesaan sekalipun, masyarakatnya majemuk, meskipun belum tentu majemuk dalam hal agama atau keyakinan, akan tetapi sudah pasti majemuk dalam hal status ekonomi, sosial, politik, atau pekerjaan. Sehingga keberagaman dalam hal tersebut mungkin sekali setiap orang memiliki preferensi tersendiri terkait dengan pilihan-pilihan yang menjadi kesukaannya pada jam-jam tertentu. Bahkan terkait pandangan politik setiap orang memiliki sikap politiknya masing-masing. Dengan demikian, pengaturan penggunaan pengeras suara tetap harus dilaksanakan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia.

Penggunaan pengeras suara luar yang selama ini terjadi, mungkin sekali tidak memperhatikan bagaimana keadaan maupun kondisi lingkungan sekitarnya. Umumnya, penggunaan pengeras suara luar oleh Masjid dan Musala kerap kali tidak memperhatikan besarnya volume yang digunakan bahkan isi suara yang dihasilkannya. Hal ini, mungkin saja akan menimbulkan kebisingan dan mengganggu ketenangan lingkungan sekitar. Apalagi bilamana alat tersebut digunakan pada bulan puasa ini untuk kegiatan tarawih dan tadarusan, yang notabene berlangsung lama bahkan bisa sampai pukul 22.00 malam. Perbedaan status pekerjaan setiap warga masyarakat sangat memungkin mereka memiliki penggunaan waktu yang beragam, kemungkinan ada masyarakat yang menggunakan waktu di malam hari untuk beristirahat, tetapi mungkin juga ada yang masih bekerja. Jika lingkungan sekitar tempatnya terdapat kebisingan yang disebabkan oleh suara dari pengeras suara luar atas kegiatan tarawih atau tadarusan khususnya mungkin saja akan menimbulkan kebisingan dan ketidaktenangan dalam memanfaatkan waktu di malam hari, baik untuk istirahat ataupun bekerja.

Seorang tokoh Islam yang juga seorang penceramah, Gus Miftah, menyarankan, demi syiar Ramadhan, penggunaan pengeras suara harus tetap dilakukan demi mengembalikan suasana Ramadhan pada zaman orang tua dahulu.[3] Namun, dia tetap mendorong adanya batasan-batasan dalam penggunaan pengeras suara setidaknya digunakan sampai pukul 22.00. Bahkan, beliau membandingkannya dengan penggunaan pengeras suara pada hajatan dangdutan. Pendapat ini patut disesalkan sebab tidak mempertimbangkan aspek keberagaman masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Beliau tidak melihat bahwa, di tengah keberagaman, penting sekali untuk menjaga kerukunan dan tidak memaksakan pengajaran dari keyakinannya untuk menjadi konsumsi semua kalangan yang notabene mungkin saja memiliki perbedaan pandangan dan keyakinan. Begitu juga membandingkannya dengan hajatan dangdutan adalah pandangan yang kurang bijak. Sebagai tokoh agama, beliau seharusnya memberi pandangan menyeluruh, bukannya membandingkan secara sempit.

Oleh karena itu, pengaturan penggunaan pengeras suara sebagaimana yang diimbau oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, merupakan langkah yang tepat dan bijak, di tengah menjaga dan merawat kebinekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian, akan tercipta suasana masyarakat yang akan semakin menjaga nilai-nilai toleransi dan keberagaman. Begitu pula, dengan adanya imbauan ini, pemerintah sebenarnya sedang menunjukkan bahwa pemerintah hadir untuk semua kalangan bukan bagi segelintir saja. Seluruh lapisan masyarakat khususnya dari kalangan umat Islam yang ada di Indonesia, dapat melaksanakan imbauan pemerintah ini dengan baik, untuk menciptakan tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang hamoni.

Sumber referensi:

***

[1] https://kemenag.go.id/informasi/surat-edaran-menteri-agama-no-se-05-tahun-2022-tentang-pedoman-penggunaan-pengeras-suara-di-masjid-dan-musala

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun