Mohon tunggu...
harkaman 123
harkaman 123 Mohon Tunggu... Guru - Lakukanlah apa yang kamu cintai, dan cintailah apa yang kamu lakukan

Belajar itu seperti kasih ibu, ia berlaku sepanjang masa.......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradigma Pendidikan Tradisional Vs Paradigma Pendidikan Modern

21 Januari 2020   09:50 Diperbarui: 17 Juni 2021   07:54 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikhsan & Abdan; Siswa SMP TIK Mizan Depok. (dokpri)

Saya adalah seorang guru pada salah satu sekolah yang terletak di Depok, Jawa Barat. Saya menghabiskan masa-masa SD di tahun 1999-2006 dan SMP di tahun 2006-2008. 

Mungkin ada yang bertanya, mengapa perlu menyebutkan hal itu. Karena di masa penulis belajar adalah masa  dimana  stakeholder pendidikan mayoritas memiliki paradigma pendidikan tradisional. Tentunya, sangat tidak  perlakuan yang sama terjadi pada diri seorang siswa yang hidupnya di masa kini.

Tantangan seorang guru masa kini, tidak hanya mengurusi siswa, namun juga merubah cara pandang orangtua atau wali siswa dan masyarakat secara umum dari cara pandang lama -- saya namakan tradisional -- ke cara pandang yang modern.

Baca juga : Pendidikan Abad 21: Adaptasi 21st Century Skill dalam Pembelajaran Era Revolusi Industri dan Society 5.0 di Tengah Pandemi Covid-19

Pertanyannya, apa yang membedakan cara pandang tradisional dengan cara pandang modern?  Paradigma pendidikan masa lampau bagi para orangtua -- saya mengalami hal itu di masa sekolah -- orientasi pendidikan berbasis nilai akademik. 

Seorang siswa dianggap berprestasi bila mendapatkan nilai ujian yang tinggi. Kenyataannya tidak seperti itu, saya mempunyai teman SD yang selalu mendapatkan gelar peringkat satu hingga lulus. Namun, itu tidak menjadikan dia mempunyai nilai jual dan saya saing yang kuat.

Orangtua dan guru tentunya perlu memahami hal tersebut. Penulis telah menyebutkan sebelumnya tentang talent, bahwa setiap anak memiliki bakat masing-masing dan memiliki kemerdekaan untuk mengembangkan minat dan bakatnya. 

Baca juga : Tata Kelola Pendidikan Nasional dalam Bingkai New Normal Perspektif Kelokalan

Mereka tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti minat orangtua, misalnya, karena orangtua mereka seorang dokter, maka ia didorong bahkan dipaksakan untuk menjadi seorang dokter.

Dewasa ini, banyak orangtua yang masih mengutamakan nilai akademik yang tinggi dibandingkan dengan karakter yang baik. Nilai ujian memang penting, namun dia bukan satu-satunya tolak ukur prestasi siswa. Kerja keras, disiplin, menghargai orang lain, simpati, jujur dan lain-lain adalah yang paling penting dari pencapaian proses pembelajaran.

Pada abad 21, ada empat kemampuan --  dikenal juga dengan 4 C skill --  yang wajib dimiliki oleh setiap orang, yaitu:

  • Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving)
  • Kemampuan berkomunikasi (communication skill)
  • Kemampuan kreatifitas (creativity skill)
  • Kemampuan kolaborasi (collaborative skill)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun