Amina Wadud menempatkan hermeneutika feminis sebagai landasan teoretis yang bukan hanya membaca teks Al-Qur'an secara literal, tetapi membuka ruang bagi rekonstruksi makna yang menegaskan kemanusiaan dan kesetaraan. Pandangan ini penting bagi pendidikan Islam karena menggeser fokus dari sekedar transmisi pengetahuan normatif ke proses pendidikan yang mengembangkan kemampuan kritis, empati, dan kesadaran etis terhadap relasi gender. Wadud menantang asumsi-asumsi historis yang memosisikan perempuan sebagai subjek sekunder dalam narasi keagamaan, sehingga pendidikan seharusnya menjadi arena untuk membongkar bias interpretatif dan menumbuhkan kompetensi hermeneutik pada peserta didik dan pendidik.
Secara praktis, pemikiran Wadud mengarahkan pembuat kurikulum untuk memasukkan studi sejarah penafsiran, kritik sumber, dan literasi teks sebagai mata pelajaran yang esensial. Ini bukan hanya soal menambahkan modul "gender" di samping materi agama, melainkan menata ulang epistemologi pendidikan agama: menanamkan bahwa teks suci dibaca dalam konteks sosial-historis dan interpretasi memiliki konsekuensi etis. Dalam kelas PAI, misalnya, pendekatan Wadud mendorong diskusi tekstual terbuka, penggunaan studi kasus, dan refleksi kritis yang memberi ruang bagi suara perempuan---bukan sekadar menyediakan materi yang netral.
Namun, mengintegrasikan hermeneutika feminis Wadud ke dalam praktik pendidikan menghadapi hambatan nyata: resistensi konservatif, keterbatasan kapasitas guru, dan struktur institusional yang formalistis. Oleh karena itu strategi implementasi harus pragmatis---mengawali dengan pelatihan guru berbasis evidensi, pengembangan bahan ajar yang kontekstual, serta pilot project di institusi pendidikan yang lebih progresif. Pendekatan bertahap ini menjaga dialog dengan pemangku kepentingan religius lokal sehingga reformasi tidak dipersepsikan sebagai penolakan agama tetapi sebagai upaya memperkaya pemahaman agama itu sendiri.
Dari perspektif pedagogis, nilai tambah pemikiran Wadud adalah penekanan pada pedagogi transformatif: pendidikan yang mengubah cara pandang, bukan sekadar menambah informasi. Ini relevan untuk membentuk warga negara yang lebih egaliter---laki-laki dan perempuan yang mampu berinteraksi berdasarkan penghormatan mutual, bukan hirarki. Pendidikan semacam ini juga mempromosikan keterampilan berpikir kritis dan kebebasan intelektual yang diperlukan untuk menghadapi tantangan sosial kontemporer, termasuk kekerasan berbasis gender dan eksklusi sosial.
Sebagai penutup, Amina Wadud memberi kerangka normatif dan metodologis yang kuat bagi transformasi pendidikan Islam menuju kesetaraan gender. Penerapan ide-idenya menuntut keberanian intelektual dan pendekatan kebijakan yang inklusif: kurikulum yang reflektif, pelatihan guru yang mendalam, dan keterlibatan komunitas agama dalam dialog kritis. Jika dijalankan dengan hati-hati dan kontekstual, hermeneutika feminis Wadud bukan hanya memperkaya studi agama---ia dapat menjadi katalis bagi pendidikan yang membebaskan dan adil. (Sumber utama: "Nalar Pendidikan Feminis Dalam Konstruksi Kesetaraan Gender Amina Wadud", Tabyin / PDF).
Daftar Pustaka
Aisyah, N. (2020). Nalar pendidikan feminis dalam konstruksi kesetaraan gender Amina Wadud. Tabyin: Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), 101--115. Diakses dari https://pdfs.semanticscholar.org/64d0/c8d175dd01e5a0ac58889078e0193f5baafc.pdf
Hidayat, R. (2019). Feminisme dan reinterpretasi teks agama dalam pemikiran Amina Wadud. Jurnal Studi Gender dan Islam, 11(1), 45--60. https://doi.org/10.24042/jsga.v11i1.4562
Mernissi, F. (1991). The veil and the male elite: A feminist interpretation of women's rights in Islam. Reading, MA: Addison-Wesley.
Wadud, A. (1999). Qur'an and woman: Rereading the sacred text from a woman's perspective. New York, NY: Oxford University Press.