Mohon tunggu...
Hariyawan Esthu
Hariyawan Esthu Mohon Tunggu... Ghostwriter -

Ghostwriter, peminat masalah sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korespondensi Kartini dengan Perempuan Penyemen Kaki

21 April 2016   07:53 Diperbarui: 22 April 2016   14:15 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.metrotvnews.com"][/caption]

APRIL adalah bulan Kartini. Begitulah, karena setiap tahun, semenjak kita kecil tidak pernah terlewat untuk memperingatinya. Begitu pula untuk bulan ini. Terkait “nuansa” Kartini, pada 11 April, masyarakat disuguhi gala premiere film drama percintaan, Surat Cinta untuk Kartini.

Seperti disampaikan sutradara film ini, Azhar Kinoi Lubis, film yang mengangkat cerita fiksi yang menonjolkan sosok RA Kartini ini diharapkan bisa membuat masyarakat merasakan perjuangan besar RA Kartini. Bagi generasi muda, bisa menjadi film yang menyenangkan. Setelah menonton, mendapat esensi dari apa yang Kartini miliki.

Sebuah niatan yang baik tentunya, walaupun itu “hanya cerita fiksi” yang berlatar belakang sejarah faktual tentang perjuangan seorang wanita pada masanya, yang memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan, yang kemudian kita kenal sebagai pejuang atau pahlawan emansipasi wanita. Dialah RA. Kartini.

Film  Surat Cinta untuk Kartini oleh para sineasnya diorientasikan agar generasi muda menjadi senang dan dapat esensi dari film tersebut. Tentunya para penonton sah-sah saja mendapat kesenangan dari cerita-cerita fiksi berbalut romansa semacam ini. Tetapi kita boleh terusik, karena kita ini hidup di dunia nyata. Para generasi muda kita lebih perlu disuguhi kejadian faktual yang nyata, agar kesadarannya tetap membumi di tanah kelahiran yang dicintainya.

Namun rasa keterusikan kita langsung terjawab keesokan harinya. Setelah gala primiere yang tayang di kompleks gedung pencakar langit itu, keesokan harinya (Selasa, 12/6), di tengah terik matahari depan Istana Negara, 9 perempuan petani asal Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, mengecor kaki mereka dengan semen pada kotak kayu. Aksi ini mereka lakukan untuk menolak pembangunan pabrik semen di daerahnya.

Ini adalah kisah faktual yang bukan untuk jadi tontonan kesenangan sesaat bagi generasi muda, karena aksi perempuan-perempuan petani itu bukanlah untuk pertama kalinya, melainkan akumulasi dari ketersisihan mereka selama ini. Mereka yang rata-rata merupakan ibu-ibu paruh baya ini, menyemen kaki sebagai simbol bahwa mereka terbelenggu oleh pabarik semen di Pegunungan Kendeng. Bila pabrik semen terus berdiri, air akan mongering, lahan-lahan pertanian dengan sendirinya akan rusak, ujung-ujungnya masyarakat dan generasi muda di wilyah itu akan beralih profesi dari petani menjadi kuli di tanah leluhurnya sendiri.

Ironi di Bulan Kartini

Mengapa aksi itu harus dilakukan oleh para perempuan? Mengapa harus dengan mengecorkan semen? Ternyata masayarakat pengunjuk rasa amat sangat memafhumi tentang kedudukan perempuan yang selayaknya dihormati, sehingga perempuan layak menjadi simbol perjuangan. Perempuan yang kakinya dicor adalah simbol keterbelengguan dari situasi ketidakberdayaan. Sebuah ironi di bulan Kartini.

Para perempuan penyemen kaki di depan Istana Negara, secara bijak bisa lebih dimaknai ihwal perjuangan kaum perempuan kita hari ini. Perjuangan di tengah ketidakberdayaan. Kemiskinan dipercaya sebagai akar masalah ketidakberdayaan perempuan. Hulu dari kemiskinan yang melilit perempuan adalah persoalan struktural, berupa sistem dan kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan, terutama sekali di wilayah perdesaan dan kota pinggiran. Perdesaan adalah rumah bagi umumnya perempuan Indonesia. Tetetapi dari waktu ke waktu, desa Indonesia mengalami diskriminasi dan mengalami pemiskinan yang mengakibatkan banyaknya perempuan perdesaan yang meninggalkan desa untuk menjadi buruh di perkotaan.

Perlu penyelamatan kemiskinan perempuan, pengangguran di kalangan perempuan, pelayanan, pendidikan, dan berbagai pemenuhan hak dasar lain yang kerap tidak terpenuhi secara layak. Jangan sampai perempuan lebih jauh menjadi korban terdepan dari kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dari situasi yang dihadapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun