Mohon tunggu...
Hariyanto Sofyan Benyal
Hariyanto Sofyan Benyal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Tua

Menyukai kopi hitam yang sedikit atau tidak ada gulanya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Melihat Putusan 90 MK dengan Mata Telanjang, Siapa yang Salah?

9 November 2023   11:11 Diperbarui: 9 November 2023   11:32 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua MK saat ini sekaligus yang memutus Putusan 90 adalah Paman dari Tuan Muda. Tidak, bukan karena kedekatan emosional saja lalu yang muda memanggil yang tua dengan gelar paman. Paman disini dalam arti seseungguhnya, yakni merupakan keluarga karena Ketua MK menikahi adik kandung dari ayah Tuan Muda. Masalahnya adalah Hakim MK tidak diperkenankan memutus perkara yang memiliki konflik kepentingan (conflict of interest), maksudnya adalah Hakim MK tidak boleh dan harus mengundurkan diri dari persidangan apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, jelas Pasal 17 ayat (4) UU Kekuasaan kehakiman. 

Dalam permohonan pada Putusan 90 tersebut nama Tuan Muda disebutkan selama beberapa kali sebagai figur yang dikagumi oleh Pemohon, dan kita tau dalam dimensi waktu sebelum sebagaimana kita bahas diatas Tuan Muda diduga akan dicalonkan sebagai Cawapres namun terhalang aturan Undang-undang tentang batas usia minimal. UU hanya dapat dimohonkan pada MK, Tuan Muda yang terhalang pencalonan karta batas usia yang diatur dalam UU Pemilu, Ketua MK sebagai pemutus perkara pengujian UU adalah Paman Tuan Muda. Sudah dapat gambarannya bukan kenapa para pakar hukum merasa kecewa atas putusan yang sarat akan konflik kepentingan ini?

Konflik kepentingan adalah satu dari sekian alasan kekecawaan lain. Berikutnya, meskipun sedikit debatable tetapi mari kita cermati, Putusan 90 MK adalah putusan yang mengandung Positif Legislator, sedangkan Hakim MK sebagai pemegang bagian dari kekuasaan yudikatif harusnya hanya membatalkan, menggugurkan, menyatakan inkonstitusional, dan menyatakan konstitusional terhadap sebuah UU karena bertentangan atau sejalan dengan UUD 1945. 

Singkatnya, dalam kewenangan pengujiaan UU, Hakim MK hanya diperboleh menyatakan sebuah norma dalam UU atau UU itu secara keseluruhan sesuai atau tidak dengan UUD 1945. Nyatanya dan menjadi salah satu akar kegaduhan adalah ditambahkannya sebuah norma "atau pernah/sedang menjabat menduduki jabatan yang dipilij melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah" sebagai bagian dari Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Padahal kita tau menurut Pasal 20 UUD 1945 yang boleh membentuk norma atau UU hanya DPR RI dengan persetujuan bersama Presiden. Inilah yang disebut positif legislator, artinya organ atau lembaga yang berhak membentuk sebuah norma.

Lalu bagaimana dengan Mahakma Konstitusi? Sebagai lembaga yudikatif dalam UUD 1945 diterangkan pada Pasal 24C berkaitan dengan UU, MK hanya dapat mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945 (disebut juga dengan judicial review). Akan sangat berbahaya jika konsep trias politica yang selama ini kita kenal dalam UUD 1945 dicederai oleh MK dengan turut memegang kekuasaan membuat norma. Masih sangat banyak alasan yang disampaikan oleh para pakar hukum bagaimana MK dalam Putusan 90 mencederai hati banyak orang, namun karena keterbatasan yang ada beginilah yang dapat saya sampaikan. Menurut kamu siapa yang salah?


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun