Mohon tunggu...
Hariyanto Sofyan Benyal
Hariyanto Sofyan Benyal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Tua

Menyukai kopi hitam yang sedikit atau tidak ada gulanya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Melihat Putusan 90 MK dengan Mata Telanjang, Siapa yang Salah?

9 November 2023   11:11 Diperbarui: 9 November 2023   11:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

16 Oktober 2023 adalah hari yang cukup sibuk bagi sebagian besar orang, selain karena bertepatan dengan hari senin, hari itu juga tepat keluarnya putusan Mahkmah Konstitusi terhadap permohonan uji materil Pasal 169 huruf q UU No.7/2017 tentang Pemilu. 

Singkatnya, bunyi amar putusan perkara itu kira-kira pada pokoknya begini "Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai berusia paling renda 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah"

Warung kopi, ruang-ruang kelas peruguruan tinggi, sampai obrolan kusir beberapa teman sibuk membicarakan ini. Tentu saja seperti fenomena yang menimbulkan perdebatan pada umumnya, putusan yang dikenal sebagai "Putusan 90 MK" selalu menghasilkan kelompok pro dan kontra. Namun, sebagai warga negara yang inshaAllah terpelajar apa yang sebijaknya kita lihat dalam putusan tersebut?

Saya kira untuk memantapkan kesimpulan yang objektif, kita harus menampung semua (atau paling tidak sebagian besar orang yang kita kenal mengingat populasi penduduk kita sekitar 260 juta jiwa) pikiran. 

Sebagian orang, terutama yang fokus pendidikannya bukan pada bidang hukum, memandang putusan ini harus dilihat dari kacamata sebab dan akibatnya. Nuansa politik dirasakan kuat mengitari putusan ini. 

Putusan ini diduga disebabkan oleh keinginan sebagian elite yang ingin melancarkan agenda politiknya meluluskan seseorang sebagai Calon Wakil Presiden namun terhalang batas minimal usia menurut UU Pemilu (belakagan ini kita tau siapa tuan muda itu). Dampaknya. Akibatnya, setelah pencalonan seseorang tadi kekuatan politik dari Partai terbesar saat ini menjadi pecah, atau paling tidak para relawan pemenangan dari Pemilu sebelumnya menjadi terbelah. Kenapa demikian? Karena Partai Terbesar saat ini memiliki Petarungnya sendiri, sedangkan seseorang (tuan muda) tadi dicalonkan dari kelompok koalisi lain. 

Lalu pertanyaannya setelah melihat sebab akibat ini siapa yang salah? Jelas tidak ada yang salah. Tuan muda tidak salah, orang yang mencalonkan dirinya juga tidak salah, sang Partai Besar juga tidak salah. Semuanya ada pada tataran aturan yang jelas, terutama pasca Putusan 90 MK tentu saja siapapun selama berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat menduduki jabatan yang dipilij melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah.

Tentu sang Tuan Muda tidak menyalahi aturan yang ada meskipun belum berusia 40 tahun karena norma yang dipakai oleh MK adalah atau yang artinya alternative boleh dipilih salah satu, dan tentu saja kita tau Tuan Muda sedang menjabat sebagai kepala daerah lewat Pemilu. Putusan MK adalah hukum yang mengikat semua orang sehingga tidak ada satupun aturan yang ada saat ini dapat menggugurkan hak pencalonan Tuan Muda berkenaan dengan usianya.

Lalu bagaimana jika demikian? Bukankah berarti ini sudah selesai dan seharusnya tidak ada lagi perdebatan di luar sana? Kita tidak akan melupakan pandangan sebagian orang lain, mereka yang dimaksudkan disini adalah mereka yang berperan sebagai pemerhati hukum negara kita. Jika sebagian yang lain melihat pada dimensi sebab akibat, para pemerhati hukum ini melihat pada dimensi saat diputusnya putusan tersebut. Setidaknya sedikit lengkap bukan? Menarik sampling pemikiran dari dua kelompok orang (hukum dan non hukum) dan menganalisis dari dimensi waktu sebelum, saat ini (maksudnya saat sidang sampai putusan), dan setelahnya. Mudah-mudahan upaya objektivitas ini tidak dicederain subjetivitas kita.

Langsung saja, bagaimana kelompok pemerhati hukum melihat ini? Sebut saja misalnya Margarito Kamis, Zainal Arifin Mochtar, Denny Indrayana, dan para pakar hukum lain yan dimiliki bangsa ini. Mahfud MD tidak disertakan karena walaupun seberapa penting dan mencerahkannya pernyataan beliau tentang hukum tetap tidak dapat melepaskan posisinya sebagai salah satu Cawapres yang menjadi lawan Tuan Muda. 

Para pakar hukum yang disebut sebelumnya berada pada satu suara yang pada pokoknya kecewa, marah, dan prihatin terhadap Mahkamah Konsitusi yang dianggap harusnya berperan sebagai pelindung konstitusi (guardian of constitution). Alasan kekecewaan mereka akan disampaikan dengan bahasa yang sedikit asing barangkali, tetapi mari kita telaah dengan pelan dan tentu saja dengan mentransformasikannya ke dalam bahasa yang lebih mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun