Sebaliknya, interleaving mengusik kenyamanan itu. Ia mengajak kita menerima rasa bingung sesaat, melewati kebingungan itu, dan pada akhirnya menemukan pemahaman yang lebih mendalam. Bukankah ini juga gambaran tentang kehidupan itu sendiri? Tidak ada yang datang dalam satu bab teratur. Segala hal bercampur: kebahagiaan dengan kesulitan, peluang dengan tantangan, kemenangan dengan kegagalan. Maka, belajar dengan interleaving tidak hanya melatih otak, tetapi juga membentuk karakter.
Interleaving layak disebut cara cerdas bukan semata karena mendukung hasil akademis yang lebih baik, melainkan karena ia menanamkan kebiasaan berpikir yang lebih adaptif. Guru yang menerapkan interleaving sedang mengajarkan muridnya untuk siap menghadapi dunia yang penuh variasi dan ketidakpastian. Siswa yang berlatih dengan interleaving sedang mempersiapkan dirinya untuk situasi nyata, di mana masalah jarang datang satu per satu dengan urutan yang rapi.
Refleksi ini membawa kita pada satu kesimpulan: belajar bukanlah perjalanan linier dari A ke Z, melainkan tarian dinamis yang penuh percampuran, pengulangan, dan improvisasi. Dengan interleaving, proses belajar menjadi lebih menyerupai kehidupan itu sendiri; tak terduga, menantang, dan justru karena itulah, lebih bermakna.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI