Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Memahami Mengapa Suku Bunga Acuan Dinaikkan

31 Oktober 2023   12:09 Diperbarui: 1 November 2023   02:15 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia. Suku Bunga Acuan BI Naik. (Dok KONTAN/Carolus Agus Waluyo)

Seperti biasa, beberapa saat sebelum Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), para ekonom dan pelaku usaha mulai menerka putusan RDG. Kali ini, pendapat mereka nampak sekali terpecah.

Sebagian masih percaya BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya (BI 7-Day Reverse Repo Rate), sementara yang lain berpendapat suku bunga acuan sudah saatnya dikerek ke atas.

Perbedaan pandangan itu cukup beralasan. Mengingat, Indonesia memang sedang menghadapi kondisi perekonomian yang amat dinamis. Persoalan global dan domestik kompak berpadu menekan kembali perekonomian nasional, yang sebenarnya sedang giat menggeliat pasca pandemi.

Apapun langkah yang bank sentral ambil, akan turut menentukan nasib perekonomian bangsa.

Akhirnya, RDG BI Oktober 2023 memutuskan menaikkan suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 6%.


Pengaruh Suku Bunga Acuan

BI sebagai bank sentral memiliki kebijakan penetapan suku bunga acuan untuk mempengaruhi aktivitas perekonomian. Terdapat 3 pilihan penetapan kebijakan tersebut, yaitu menahan, menaikkan, atau menurunkan.

Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons kenaikan atau penurunan suku bunga acuan dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga perbankan. Kebijakan tersebut akan mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan (www.bi.go.id).

Ilustrasi sederhananya, ketika suku bunga acuan naik maka akan diikuti kenaikan suku bunga deposito. Hasilnya, terjadi perpindahan uang ke perbankan. Dengan berkurangnya uang yang beredar, maka tingkat permintaan barang dan jasa akan turun sehingga inflasi pun makin rendah.

Namun, kenaikan suku bunga deposito akan diikuti pula kenaikan suku bunga kredit. Efek rembetannya adalah kenaikan biaya produksi dan beban lain-lain (overhead costs) bagi dunia usaha, disertai menurunnya tingkat konsumsi dan investasi.

Kondisi sebaliknya akan terjadi jika suku bunga acuan diturunkan.

Jadi, kebijakan mana yang lebih baik? Naik atau turun? Jawabannya adalah relatif, tergantung kondisi ekonomi yang sedang dihadapi serta strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi ke depan.

Mengapa Kali Ini Naik?

Banyak kondisi yang melatarbelakangi pengambilan keputusan suku bunga acuan. Kondisi itu dapat berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi ekonomi global, maupun faktor internal, berupa kondisi ekonomi domestik.

Salah satu yang sangat berpengaruh adalah kondisi global berupa suku bunga acuan negara-negara maju, diantaranya Amerika Serikat (AS). Hingga September lalu, bank sentral AS (Federal Reserve) masih bertahan pada suku bunga acuan yang tinggi yaitu 5,25%-5,50%. Angka tersebut menurut mereka masih mungkin dinaikkan pada beberapa waktu ke depan. Pada bulan yang sama, suku bunga acuan BI bertengger di 5,75%.

Perubahan suku bunga umumnya adalah 25 basis poin. Artinya, jika Federal Reserve sekali lagi menaikkan suku bunganya dan BI tetap bertahan, maka suku bunga kedua negara itu bisa sama.

Kondisi yang ada itu, mendorong Indonesia untuk memiliki tingkat suku bunga di atas negeri Paman Sam itu. Mengapa demikian?

Tingkat suku bunga acuan merupakan salah satu daya tarik bagi investor untuk berinvestasi atau menanamkan modalnya di Indonesia. Hal itu berkorelasi dengan imbal hasil yang diharapkan oleh investor.

Ketika suku bunga Indonesia sama atau bahkan di bawah AS, maka akan muncul risiko perpindahan dana atau modal dari tanah air ke negara tersebut (capital outflow) ke AS. 

Investor akan lebih berminat menginvestasikan dananya di AS ketimbang di Indonesia. Kondisi itu dapat menggerus cadangan devisa yang akhirnya akan menekan nilai rupiah ke tingkat yang rendah.

Analogi sederhananya, ketika terjadi capital outflow, persediaan dollar dalam negeri akan semakin menipis. Jumlah yang minim itu mengakibatkan dolar semakin mahal.

Salah satu faktor yang mendorong capital outflow adalah tingkat credit scoring, ini semacam penilaian tingkat kelayakan investasi obligasi di suatu negara. Credit scoring Indonesia berdasarkan penilaian lembaga internasional Standard and Poor’s dan Fitch adalah BBB. 

Dengan nilai tersebut, Indonesia sebenarnya sudah masuk kategori investment grade atau layak investasi. Namun, tingkat kelayakan itu masih di bawah negara-negara maju (umumnya nilai A) bahkan negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura.

Jadi, dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 6%, BI telah memperlebar jarak dengan suku bunga acuan AS. Setidaknya, dalam beberapa waktu ke depan, risiko tingkat suku bunga menjadi sama dengan AS dapat dikurangi. Risiko capital outflow pun diharapkan bisa direduksi dan nilai rupiah kembali menguat.

Apa Hanya Karena AS?

Apakah patokan untuk menaikkan suku bunga acuan semata-mata karena kebijakan AS? Tentu tidak.

Mengutip rilis hasil RDG BI, ada berbagai pertimbangan sebelum menetapkan suku bunga acuan, diantaranya kondisi ekonomi global, pertumbuhan ekonomi domestik dan daya tahan terhadap dampak rambatan global, kinerja neraca pembayaran Indonesia, tingkat inflasi, kondisi perbankan, dll.

Dapat juga dilihat bahwa BI menaikkan suku bunga acuan setelah bertahan sejak Januari 2023. Dalam kurun waktu tersebut, Federal Reserve sudah 4 kali menaikkan suku bunga acuannya.

Pelindungan Daya Beli Masyarakat

Setiap kebijakan terkait suku bunga acuan tentu berdampak kepada masyarakat, terutama dari aspek daya beli. Untuk itulah, perlu adanya langkah-langkah untuk melindungi mereka.

International Monetary Fund dalam kajiannya yang bertajuk “Higher-for-Longer Interest Rate Environmentis Squeezing More Borrowers” menekankan mulai munculnya trend suku bunga tinggi dalam jangka panjang (higher for longer). 

Pihak paling terdampak dari trend tersebut adalah para debitur rumah tangga di sektor properti. Mereka akan terbebani pembayaran angsuran yang semakin berat.

Kondisi tidak jauh berbeda dengan Indonesia, berdasarkan Survei Perbankan BI, permintaan kredit konsumsi tertinggi berasal Kredit Perumahan Rakyat dan Kredit Pemilikan Apartemen. 

Menyikapinya, bersamaan dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan, BI tetap mempertahankan pelonggaran kredit properti paling tinggi 100% (loan to value). 

Dengan kata lain, pembayaran uang muka adalah 0%, pastinya dengan syarat-syarat tertentu. Pembebasan uang muka tersebut juga diberikan kepada kredit kendaraan bermotor.

Selain bank sentral, pemerintah pun sebenarnya juga mengeluarkan kebijakan untuk mendorong sektor properti ini. Terdapat kebijakan pemerintah menanggung Pajak Pertambahan Nilai untuk pembelian rumah non subsidi di bawah Rp2M (PPN-DTP). 

Pemerintah juga memberikan bantuan biaya pengurusan administrasi BPHTB bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Alokasi anggaran untuk insentif tersebut mencapai Rp3,2T.

Dengan berbagai kelonggaran itu, baik bank sentral dan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan suku bunga yang sulit dihindarkan.

Butuh Waktu

Pasca keputusan kenaikan suku bunga acuan BI, kurs rupiah dibandingkan dollar memang masih terlihat lemah dan suku bunga juga belum banyak berubah. Mengenai hal itu, kebijakan yang diambil bank sentral umumnya memerlukan proses transmisi. Ada lag waktu yang diperlukan industri keuangan untuk beradaptasi mengadopsi kebijakan tersebut.

Dapat kita lihat, bank sentral dan pemerintah sedang berupaya keras menjaga kestabilan nilai rupiah sekaligus memperkuat daya tahan perekonomian nasional. Sembari menantikan hasilnya, masyarakat bisa turut mendukung upaya tersebut melalui langkah-langkah sederhana sesuai kemampuan. Sebut saja, mendukung gerakan belanja produk dalam negeri atau tidak berspekulasi dalam valuta asing.

Melalui kerja sama seluruh elemen bangsa, diharapkan ketahanan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus terjaga. Bagaimanapun, kondisi ekonomi akan terus dinamis dengan tantangannya yang tidak pernah habis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun